Oleh: Salma Nasikhah Banin
Mahasiswi senior, mantan staf Kementerian Kebijakan Publik Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya
salmabanin@gmail.com
TANGGAL delapan maret kemarin menjadi momen bagi perempuan dunia untuk menunjukkan dirinya. Tidak hanya di 13 kota besar Indonesia, kampanye ‘Women’s March’ juga digelar di berbagai belahan dunia lain seperti Argentina, Jepang, Inggris, Kanada dan belasan negara lainnya.
Tuntutannya sama, untuk bersama-sama melawan kekerasan terhadap wanita, yang dilakukan kaum lawan jenisnya, yakni pria. Mereka menyeru pada pemerintah untuk melegalkan aspirasi ramah wanita yang secara umum terangkum dalam 8 poin utama, yakni:
1.Menghapuskan hukum dan kebijakan yang diskriminatif dan melanggengkan kekerasan berbasis gender;
2.Membuat hukum dan kebijakan yang suportif yang berbasis kekerasan dan gender;
3.Perluasan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan;
4.Menghapuskan stigma dan dikriminasi terutama kelompok dalam status kesehatan seperti HIV dan narkoba;
5.Menyelesaikan akar dari kekerasan berbasis gender yaitu yang memiskinkan perempuan;
6.Menghentikan intervensi negara terhadap tubuh dan seksualitas warga negara;
7.Menghapuskan praktik dan budaya kekerasan gender; serta
8.Mengajak masyakat untuk berpartisipasi aktif menghapus kekesaran berbasis gender.
Sungguh mulia niat para perempuan ini demi menyelamatkan kaumnya. Kesejahteran dan kebebasan individu sesamanya menjadi motivasi utama meledaknya aksi di mana-mana. Tidak hanya turun ke jalan, media pro-feminis pun masif mengampanyekan hasil pemikirannya di berbagai jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram.
Jika lokal Indonesia memiliki website konde.co, secara internasional para feminis ini rajin melaporkan film dokumenternya via vice.com. Terbaru adalah kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi di Korea Selatan dengan salah satu titik permasalahan yg ditonjolkan adalah patriarkisme.
Setali tiga uang dengan Korsel, Women’s March Indonesia juga menyuarakan kepada masyarakat untuk menghapuskan patriarki berlandaskan norma dan agama. Norma yang dimaksud adalah norma ketimuran yang kita miliki, sedang agama yang dimaksud adalah Islam sebagai mayoritas.
Sangat jelas bahwa arahan gerakan ini adalah gerakan yang dikembangkan dari tempat di mana munculnya, yakni dunia Barat. Kental sekali dengan kehidupan liberal yang berlandaskan ide sekulerisme.
Perempuan Barat sejak dahulu memang tidak pernah puas atas hasil kepengaturan mereka selama ini. Pemerintahan Monarki Absolut yang berdalih agama melekat kuat dalam kultur kehidupannya. Meski kini telah menganut demokrasi, nyatanya perendahan terhadap martabat wanita masih banyak dipelihara.
Ditambah lagi dengan kesulitan hidup yang semakin hari semakin parah melanda masyarakat dunia karena dilanggengkannya sistem ekonomi kapitalisme yang hanya berpihak pada siapa saja yang punya uang.
Kemiskinan yang dirasakan keluarga masa kini, selalu mengkambinghitamkan ibu-ibu yang pasif dalam mencari penghidupan. Padahal semua orang tahu, lelaki-lah yang pertama kali harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya.
Islam beserta seluruh perangkat aturannya pernah menaungi dua pertiga dunia dalam bingkai kekhilafahan selama lebih kurang 1.300 tahun yang di dalamnya sebagian besar adalah kaum hawa. Namun tak ada sejarahnya, ide feminisme ini muncul awal mulanya dari wilayah ini.
Perempuan Muslim dan non-muslim hidup berdampingan disertai perasaan puas terhadap kepengurusan Khalifah (kepala negara) atas kehidupannya selama itu. Sejak pertama kali diutus Rasul Muhammad SAW, wanita selalu memegang peranan kunci dalam kedigdayaan Islam.
Tidak hanya disegani dan dilindungi lelakinya, melainkan Allah SWT pun memosisikan perempuan pada tempat sebaik-baiknya manusia sesuai fitrahnya. Tubuhnya yang menawan dijaga ketat agar tak dilirik mata-mata yang tak berhak. Kecerdasannya disiapkan untuk mendidik generasi-generasi hebat pemimpin masa depan. Kesabaran dan kasih sayangnya yang luas menjadi penyejuk bagi setiap orang yang berada dalam dekapannya.
Muslimah tidak dipusingkan dengan keinginan semu meraih materi di luar rumah, sebaliknya menjadi ratu yang mulia dihadapan suami dan Tuhannya. Penciptaannya yang berbeda dengan lelaki menjadikan fungsi dan tanggungjawabnya pun berbeda.
Diciptakannya dua jenis ini tidak lain untuk saling melengkapi rongga-rongga yang tak mungkin diisi dengan sesama jenisnya. Keserasian inilah yang membuat kehidupan manusia masih berlanjut sampai sekarang.
Perempuan dalam Islam tidak pernah merasa dalam kekangan, karena ia ridho kepada Allah SWT yang senantiasa memberi hidup baginya. Maka ide feminisme bukan diperuntukkan bagi muslimah yang memegang Islam dengan sebenar-benarnya, melainkan bagi manusia termasuk perempuan yang hidup dalam ketertindasan akibat sistem yang tak tunduk pada Sang Pencipta dan Pengatur Kehidupan Alam Semesta. Wallaahu’alam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.
Â