Oleh: Susi LW
Penulis tinggal di Bekasi, susiakmal@yahoo.com
CINTA adalah anugerah yang Allah berikan setelah kehidupan. Lantas apakah jadinya bila cinta hanya tertuju kepada kehidupan di dunia? Bukankah ada kehidupan yang lebih kekal setelah kematian? Aku adalah lelaki yang mencintai dunia beserta isinya, tanpa tahu siapa yang berhak aku cintai lebih dari dunia dan seisinya.
***
Aku menikmati kebahagiaan yang semu, memiliki kekayaan dari orang tua. Bisnis yang aku jalani tak terlepas dari campur tangan Ayahku. Diusia yang hampir kepala tiga ini tak membuatku memikirkan tentang masa depan, ya pernikahan. Entah mengapa Aku sangat menikmati masa lajang ini dengan pertemanan dengan wanita tanpa ikatan pernikahan. Bahagia tapi merasa hampa. Untuk apa memiliki gelas tapi kosong, tak ada air yang dapat melepaskan dahaga.
“Semua ini karena kamu Nisa. sudah kucoba untuk mencari penggantimu, tapi ingatan ini selalu berpihak kepadamu.” Aku memaki sebuah foto yang ada di tanganku.
Nisa adalah cinta pertamaku yang hilang. Dia memilih pergi setelah aku nyatakan perasaan ini, apa yang salah dengan ungkapan cintaku? Apa salah jika aku mencintai wanita berjilbab sepertinya? Tanpa sadar air mataku terjatuh, mengingat saat terakhir aku bertemu dengannya. Saat itu pandangannya jatuh ke arah tanah, seolah tak memperhatikanku tapi mendengar secara dalam.
***
“Nisa tunggu sebentar, bisakah aku berbicara denganmu?”
“Silakan Doni, tapi gak lama ya!”
“Tapi jangan nunduk terus dong, kesannya terpaksa banget.”
“Tenang aja Don, aku dengerin ko. Buruan mau ngomong apa?”
“Aku mau jujur Nis, sebenernya aku suka sama kamu. Udah lama aku memperhatikan kamu, tapi kamunya cuek sih.”
“Terus?”
“Aku serius Nis, mau gak kamu jadi pacarku?”
“Denger ya Don, kalo kamu serius temui Bapakku. bagiku cinta itu hanya dihadapkan pada 2 pilihan. Jika kamu tidak bisa menghalalkan maka kamu harus bisa mengikhlaskan.”
***
Kring… Kring… Kring… Nada ponselku memecahkan lamunanku, tentangnya yang kini masih ada di dalam hati. Aku menyesal tak mengerti ucapan yang terakhir Nisa katakan dulu, bagiku semua itu hanyalah sebuah penolakan halus yang ia sampaikan. Saat itupun pikiranku masih labil, hanya memikirkan kesenangan sesaat. Merasa belum siap untuk menikah dengan alasan kuliah yang belum selesai dan amanat Ayah untuk meneruskan Perusahaan.
Nasi sudah menjadi bubur, kayu sudah menjadi arang. Dunia yang aku cintai kini meninggalkanku sendiri dalam kehampaan, cinta yang harusnya aku miliki kini telah menjadi jodohnya orang.
Harta yang aku miliki tak bisa untuk memutar kembali waktu yang terbuang. Andai aku berani menghalalkan, aku tak harus merasakan sakitnya mengikhlaskan.
Aku jadikan semua ini sebagai pelajaran. Inilah cintaku di atas kuburan, hanya mencintai apa yang hakikatnya berada di atas gundukan tanah. Cinta yang hanya sebatas kesenangan dunia, berupa cinta, harta tahta dan wanita. Aku hanya mencintai dunia tanpa berfikir untuk mencintai-Nya.
Bukankah manusia diciptakan untuk beribadah? Dan menikah adalah salah satu ibadah? Aku menyesal terlambat mengetahuinya. Cinta yang sejati akan menuntunku kepada seorang wanita yang juga mencintai-Nya. Nyatanya cinta Allah yang akan membahagiakanku kelak, meski jasadku sudah membusuk di dalam kubur. []