DEPOK — Disamping manfaatnya yang besar, media sosial dapat disalahgunakan untuk memanipulasi opini publik di berbagai belahan dunia. Kekhawatiran itu mencuat dalam diskusi yang diselenggarakan Center for Strategic Development Studies (CSDS) di gedung MITI Center, Depok (10/3). Diskusi menghadirkan pembicara Rudi Lumanto (Ketua ID-SIRTII, komunitas keamanan siber) dan Adiseno (mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), dengan moderator Sapto Waluyo.
Rudi menjelaskan media konvensional membentuk opini publik dengan melakukan agenda setting, mengajukan pertanyaan/isu yang dianggap penting dan mendiamkan isu yang dinilai tidak penting, meskipun kenyataan sebaliknya. Sebagai contoh, “Isu pemanasan global begitu gencar dikampanyekan di seluruh dunia. Padahal, di sejumlah negara seperti Indonesia yang lebih mengerikan adalah polusi air sungai dan laut, polusi udara dan sampah di darat, serta kerusakan hutan tropis. Semua itu tenggelam oleh isu pemanasan global yang abstrak bagi sebagian orang awam,” jelas alumni University of Electro Communication, Tokyo itu.
Penelitian terkini dari Samuel Woolley dan Philip Howard dikutip Rudi tentang propaganda komputasional berskala global. Riset itu mengamati penggunaan media sosial di sembilan negara (Russia, Taiwan, Brazil, Kanada, China, Jerman, Polandia, Ukraina dan Amerika Serikat) untuk mempengaruhi opini publik. Simpulannya, kebohongan dan misinformasi yang diproduksi media tradisional telah diamplifikasi secara online dan didukung algoritma Facebook serta Twitter.
Di Russia, 45 persen akun Twitter aktif ternyata robot, termasuk yang konon digunakan untuk memengaruhi pemilihan umum di AS tahun 2016 hingga memenangkan Donald Trump dan menyingkirkan Hillary Clinton. Kasus intervensi itu sedang menjadi perdebatan hangat di negeri Paman Sam. Di Taiwan, ribuan akun media sosial yang sangat terkoordinasi tapi tidak sepenuhnya robot, digunakan untuk menyerang Presiden Tsai Ing-wen yang berbeda pandangan dengan pemimpin RRC. Akun robot atau terkontrol itu menciptakan ilusi tentang popularitas dunia maya, termasuk isu yang dianggap penting dan genting.
Pembicara lain, Adiseno sepakat media sosial dapat mempengaruhi opini publik, bahkan bisa menggerakkan revolusi sosial, seperti pernah terjadi di Iran tahun 2009. Ketika itu, pemilihan presiden di Iran yang menghadapkan dua kandidat: Mahmoud Ahmadinejad versus Mir Hossain Mousavi. “Kecaman dan umpatan dalam media sosial sangat tinggi terhadap petahana Presiden Ahmadinejad menjelang Pemilu (12 Juni 2009). Bahkan, hasil pemilu yang memenangkan petahana dinilai penuh kecurangan. Namun, setelah pemerintah mengendalikan oposisi dan peringatan ulang tahun Revolusi Islam (11 Februari 2010), justru kecaman tertuju kepada Mousavi,” ungkap Adiseno, yang menamatkan doktor bidang platform mobile di Royal Institute of Technology (KTH), Swedia.
Moderator Sapto Waluyo menyimpulkan perhatian harus diberikan untuk memproduksi konten positif di media sosial, agar tidak berkembang ujaran kebencian atau provokasi untuk konflik.
Selain itu, jalur distribusi untuk menyebarkan konten itu juga harus terbuka dan dapat diakses semua pihak.
“Saat ini, pengguna internet di Indonesia sangat tergantung pada platform yang dikuasai produsen asing. Padahal, aplikasi yang dikembangkan programer domestik cukup banyak, namun kurang didukung,” simpul Sapto. Ia menunjukkan inisiatif China dan Jepang untuk mengembangkan platform komunikasi buatan sendiri.
Namun, pengelolaan informasi di era media sosial menuntut kompetensi dan profesionalitas tinggi, karena informasi yang diproduksi dan didistribusikan berbagai jalur sangat melimpah. Instansi pemerintah (Kemkominfo) sebagai regulator harus profesional dan akuntabel.
“Sedangkan masyarakat pengguna harus semakin cerdas, agar tidak menjadi korban manipulasi. Media sosial dapat diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan konsensus nasional,” jelas Sapto menepis kekhawatiran penyimpangan medsos. []