Oleh: Harri Ash Shiddiqie
Penulis, Dosen di Jember
MUSHOLA pompa bensin itu sempit. Ada dua sajadah tua yang merasa sepi, beludrunya kropos. Ribuan kali kepala telah bersungkur di sana.
Setiap orang berada di sajadah itu umumnya tak sampai 10 menit, sholat cepat, dzikir singkat. Lepas dari sajadah itu ia berada di atas sajadah lain, sajadah kehidupan.
Bila sopir, ia kembali ke belakang setir meneruskan perjalanan. Bila ia pegawai pom bensin, ia menyapa dan mengisi mobil yang kehausan.
Taufik Ismail melukis kehidupan manusia sejak buaian sampai liang lahat dalam puisi “Sajadah Panjang”. Puisi indah itu dulu dinyanyikan Bimbo, kini Noah.
Benarkah sajadah panjang kehidupan selalu mengarah ke kiblat?
Mungkin, sajadah parau di mushola itu tak pernah mencium air sabun sepanjang tahun, merasa sunyi, tak diperhatikan, sajadah itu tetap mengarah kiblat. Tapi kita, sajadah kita?
***
Terkadang, nestapa perlu dihadirkan. Kegembiraan dan keriangan perlu dijatuhkan ke jurang, dipaksa diam, berganti renungan. Tidak harus meneropong catatan sepanjang hidup. Malam sebelum tidur, melihat seberapa banyak noda coretan di sajadah hari ini, berapa kali sajadah itu kita coret, atau kita tidak sadar telah merobeknya?
Pagi tadi usai sholat subuh mata tidak tertahan lagi, tidur lagi. Lelah. Kantuk dan lemas merayapi. Kenapa lemas, karena menonton sepak bola lewat tengah malam. Sebelum tengah malam menunggu pertandingan, menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama teman dan tetangga. Menggelar cerita konyol lalu terkekeh-kekeh.
Sajadah malam yang seharusnya diisi manfaat berupa istirahat, itu dilalaikan. Anugerah Allah berupa waktu dan kesehatan hanya untuk meneguk kepuasan diri yang berlebihan, buruk.
Sajadah berikutnya di perjalaan ke tempat kerja, bangun siang membuat motor dicepatkan, membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Tak ada kesabaran dan memicu ketidak sabaran orang lain. Sajadah kehidupan yang koyak-koyak. Bahkan selesai pulang kerja, saat maghrib, sekeluarga memang sholat maghrib, tapi sendiri-sendiri, di rumah. Tak tergerak berjamaah di masjid, tak tergerak menuntun anak-anak memakmurkan masjid.
Kenapa? Mungkin ia tak tahu, tak berilmu.
Tentang masjid, ilmu yang dimiliki sebatas: Untuk sholat Jumat. Titik.
Tak berilmu karena memang tak mau mencari ilmu, tak datang ke pengajian. Kalaupun mendengarkan pengajian, cukup di TV, dipilih pengajian penuh tawa, sekedar canda. Pengajian dengan Ilmu yang tak melekat, menempel lalu jatuh, akhirnya mengarah tanpa ilmu.
***
Sajadah itu berhias gambar bulan retak berkeping-keping, dia berbisik kepada angin : Tidak selalu mengarah kiblat. Lebih celaka lagi, itu semua tidak disadari. Ketika susah dan sedih menikam, tangisnya melolong-lolong dengan bertanya-tanya, “Hamba selalu sholat, hamba selalu baik, tidak pernah menyakiti orang lain, tidak pernah mencuri, kenapa kepahitan ini datang. Apa dosa hamba?” []
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.