Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
Kontributor Islampos, Tinggal di Norwegia
KAMI tinggalkan Stavanger yang diguyur hujan kemarin siang dengan perasaan lega dan penuh harap. Lega karena misi bertemu sahabat-sahabat Indonesia sudah terlaksana. Banyak cerita, nostalgia, tawa canda dan tentu saja makanan lezat yang akan terus terbawa dalam kenangan.
Selanjutnya kami merasa penuh harap karena petualangan libur kami yang sudah menanti di depan mata. Selalu ada hal-hal menarik dan seringkali tak terduga dalam tiap liburan keluarga kami selama ini.
Hal tak terduga itu dimulai dari boarding pass kami yang tercetak hanya sampai Kopenhagen. Sementara tujuan akhir kami bukan ke sana. Suami meminta petugas check-in mengeluarkan boarding pass lanjutan agar kami tak perlu berlari untuk mengejar penerbangan transfer kami di bandara Kopenhagen. Apa boleh buat. Petugas hanya bisa menyarankan agar kami mengontak petugas transfer sesampainya di Kopenhagen nanti.
Ah! Bayangan kami lari terbirit-birit sudah terbayang jelas. Jarak waktu antara penerbangan pesawat SAS dari Stavanger ke Kopenhagen dan pesawat selanjutnya hanya 55 menit! Kami betul-betul berdoa semoga pesawat pertama ini tidak terlambat.
Sempat berdebar disco juga setelah tahu bahwa kami harus menunggu di pintu keberangkatan nomor 13. Pintu yang sama dengan liburan kami sebelumnya ke Italia. Liburan tak terlupakan karena pesawat kami mengalami penundaan sampai 3 jam waktu itu.
Hingga 30 menit menjelang jadwal take-off pesawat belum muncul juga. Wahai Tuhan… Semoga segera Kau kirim pesawat kami dan menampakkannya di depan mata kami…
Dan TRING! Alhamduillaah pesawat kecil itupun muncul juga. Satu kekhawatiran terlampaui. Pesawat pun mengudara dan mendarat dengan selamat di tengah hujan deras dan awan gelap.
***
Hujan dan awan itu ternyata tak tampak jejaknya di bandara Kopenhagen, kota di negeri tetangga sesama Skandinavia. Kota tempat kelahiran Hans Christian Andersen dan dongeng The Little Mermaid-nya. Tapi tentu saya tak akan bercerita tentang itu sekarang. Ingat, waktu kami hanya 55 menit sebelum pesawat lanjutan dijadwalkan berangkat. Seperti yang kami rencanakan, kami lari terbirit-birit mencari transfer centre.
Cari punya cari, ternyata petugas menyarankan kami untuk segera pergi ke pintu keberangkatan nomor 26. Tak ada boarding pass yang kami terima. Bagaimana kami bisa menembus passport control tanpa boarding pass? Oh Tuhan… Sekali ini tolong kami lagi… Mudahkan segala urusan kami…
Dan Allah SWT memang sungguh Maha Baik. Hanya berbekal kertas print out e-ticket dan paspor, alhamdulillaah kami bisa lolos dari urusan imigrasi bandara. Berlari lagi menuju pintu keberangkatan 26. Dan ketemu juga…
Kami segera melapor ke petugas check-in, yang memang sudah menanti kami dan mengetahui bahwa kami bertiga dan satu orang lagi adalah penumpang dari Stavanger yang belum memperoleh boarding pass.
Petugas bekerja serius di depan kami yang mengantre di tempat tersendiri. Satu demi satu boarding pass dicetak. Saya perhatikan nomor tempat duduknya. Kami harus duduk berjauhan! Mana mungkin? Saya segera meminta si Mas petugas agar kami bisa duduk berdekatan, paling tidak saya dan anak saya. Si Mas bilang bahwa dia akan berusaha semaksimal mungkin karena pesawat hari itu betul-betul penuh. Kami diminta sabar menunggu hingga semua penumpang naik ke pesawat. Dia akan berusaha menukar tempat duduk salah satu penumpang agar saya dan Fatih bisa duduk berdampingan.
Ini kali pertama kami duduk menunggu di ruang tunggu hingga penumpang habis. Dan kami menunggu di depan pesawat sampai semua penumpang duduk. Rasanya bagaikan penumpang gelap yang menanti kepastian apakah kami akan dapat tiket atau tidak.
Tak lama si Mas yang baik dan sigap itu memersilakan kami masuk ke pesawat. Tempat duduk bersebelahan yang diharapkan itu ternyata tak menjadi. Yang terbaik yang bisa kami peroleh adalah saya duduk satu nomor di depan Fatih. Sementara suami saya duduk jauh di belakang kami. Yah tak apalah.
Saya menangkap kekhawatiran di wajah Fatih yang mulai lelah. Kekhawatiran itu ternyata ditangkap juga oleh penumpang di sebelah Fatih. Bapak paruh baya itu duduk mendampingi wanita yang saya kira adalah ibunya. Tanpa saya minta, si bapak itu membujuk ibunya yang berumur sekira 70 tahun untuk bertukar tempat agar saya bisa duduk di sebelah Fatih. Ajaib! Tanpa tampak terpaksa si ibu pindah dan tersenyum pada saya.
Rasa haru menyelinap di hati. Sambil menyentuh lembut bahu si ibu, saya berucap ” tasyaker” – terima kasih. Itulah salah satu kosa kata yang masih saya ingat dari negara yang akan kami kunjungi ini.
Singkat cerita, penerbangan berjalan mulus hingga saya sempat tertidur sejenak setelah menikmati makan malam yang lezat. Fatih mencolek bahu saya dan menunjukkan pemandangan spektakuler di bawah sana. Bias cahaya lampu warna-warni memecah kegelapan malam di atas sini. Ah… Tiba-tiba saya merasakan rindu yang membuncah.
Kerinduan yang membawa kenangan perjalanan kami ke tempat ini tiga tahun yang lalu. Tak disangka kami akan kembali lagi ke sini hanya dalam rentang tiga tahun. Entah kisah dan petualangan apa yang siap menyambut kami di sini. Apapun itu, insya Allaah kami akan siap menyambutnya.
***
Hari masih gelap. Pukul 05.15. Samar-samar terdengar suara muadzin mengumandangkan adzan subuh di masjid terdekat. Sesaat saya lupa kalau saya sedang berlibur tapi bukan berlibur di Indonesia. Saya di Istanbul bersama suami dan anak semata wayang kami.
Inilah istimewanya liburan ini. Liburan di mana kami tak perlu khawatir mencari makanan halaal. Liburan di mana kami tak perlu pula khawatir mencari masjid bila sudah tiba waktu sholat. Sebetulnya ini bukan liburan yang kami cari karena nilai religiusitasnya, meski kami ke sini untuk menelusuri jejak-jejak keagungan dan kejayaan Islam di masa dinasti Ustmaniyah bahkan penguasa Romawi.
Negeri Turki, meski merupakan negara muslim, pada masa ini adalah negara yang sekuler dan cukup liberal. Wanita berkerudung yang merokok bukan pemandangan asing di sini. Pemandangan itu bahkan sudah kami saksikan sejak di bandara Attaturk.
Masyarakat Turki sangat menjaga kehalalaan makanan mereka. Tapi d sisi lain berbagai jenis minuman alkohol dijual secara bebas dan terbuka di mana-mana.
Turki, negeri muslim yang sekuler namun tetap religius. Kumandang adzan, yang meski lantunan nadanya tak seindah adzan di Indonesia, menguatkan kesan religius itu. []