Oleh: Indha Tri Permatasari, S.Keb, Bd
Praktisi Kesehatan Ibu dan Anak, tinggal di Surabaya
INDONESIA darurat narkoba, digagalkannya penyelundupan 1,6 ton sabu di Perairan Riau, plus sindikat internasional Taiwan (lagi-lagi Cina) cukup mengejutkan. Dan akan lebih terkejut lagi dengan apa yang diungkapkan Bamsoet, panggilan untuk Ketua DPR RI yang baru Bambang Soesatyo, bahwa ada 600 ton narkoba dengan jenis baru yang akan masuk ke Indonesia dengan nilai setengah dari total APBN kita.
Keterangan ini juga diperkuat oleh mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, yang mengatakan masih ada sekitar 250 ton narkoba yang akan masuk Indonesia dengan nilai Rp 1200 trilyun.
Deretan artis yang terciduk sekedar kosmetik yang menambah daya jual berita. Gaya hidup artis memang membuka peluang untuk “pakai”. Tidak hanya artis dan orang dewasa, narkoba pun kini menyasar anak-anak dengan kemasan yang menarik. Anak-anak telah disiapkan oleh sindikat narkoba sebagai calon pecandu baru karena neurotransmiter di dalam otaknya sudah mengenal narkoba sejak dini.
Paket 1 gram sabu saja sudah berbahaya dan bisa membuat pemakainya “fly” atau berhalusinasi alias teler, bagaimana dengan jumlah sabu yang berton-ton? Barang haram tersebut cukup untuk menelerkan penduduk satu kecamatan, bahkan satu negara. Pemakai narkoba akan mengalami gangguan fisik, penampilan, gagal organ jantung dan hati, serta gangguan psikis (kejiwaan) seperti emosi yang tidak stabil, agresif, dan lain-lain.
Begitu juga dengan gangguan sistem koordinasi tubuh dan proses berpikir. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang pemakai apalagi pecandu narkoba? Jangankan berpikir solusi untuk berbagai problematika yang dihadapi bangsa ini, solusi untuk dirinya sendiri pun dia tidak “ngeh” harus bagaimana, apalagi untuk mengatasi sejuta permasalahan negeri.
Kenapa Kasus Narkoba ini berulang?
Pesatnya kejahatan narkoba patut kita renungkan bersama. Kejadian ini juga kembali membuktikan bahwa negara lemah, telah kalah pada mafia pengedar narkoba dan tidak mampu menjadi pelindung rakyatnya. Meskipun sudah ada beberapakali kasus narkoba yang mendapatkan sangsi tegas yakni hukuman mati, nyatanya tidak memberikan efek jera bagi penguna maupun pengedar.
Azmi mengatakan narkoba merupakan wujud penjajahan gaya baru dengan merusak mental manusia Indonesia. Selanjutnya ia menegaskan untuk menangguhkan RKUHP mengenai klausul yang memberikan dispensasi bagi terpidana mati. Dalam RKUHP tersebut disebutkan hukuman terpidana mati kasus narkoba yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dan berkelakuan baik, diubah menjadi 20 tahun penjara. (http://hukum.rmol.co/read/2018/02/25/328147/Indonesia-Darurat-Narkoba,-Dispensasi-Hukuman-Di-RKUHP-Celah-Bahaya-)
Mereka tetap melalukan bisnis dan transaksi haram ini, karena menganggap hukuman yang ada selama ini bisa dimanipulasi, hukuman mati yang selama ini berjalan hanya diberikan pada pengedar, bukan pada bandar atau mafia dibelakangnya. Apalagi dengan adanya RKUHP terseebut menjadi celah bahaya. Indonesia akan jadi ladang bisnis segar bagi para pebisnis narkoba. Butuh sangksi tegas, kalau tidak Indonesia akan hancur, dimana generasi muda akan lemah dan suka halusinasi.
Oleh sebab itu semestinya dalam menanggulangi permasalahan yang ada haruslah dengan solusi yang mendasar, yang menyentuh akar penyebab permasalahan. Yakni membuang jauh Sistem Kapitalisme Liberal yang nyata telah memberikan peluang terjadinya berbagai problematika yang ada, termasuk perdaran narkoba di Indonesia yang tengah terjadi.
Berantas Kejahatan Narkoba
Sejatinya masalah kejahatan narkoba terus berluang seperti tidak ada habisnya adalah buah dari sistem yang meminggirkan agama dalam kehidupan manusia yakni idiologi kapitalisme. Dengan standar kebagaiannya memperoleh materi sebanyak-banyaknya dari bisnis narkoba tanpa memperdulikan kerusakan generasi.
Bebeda dengan idiologi Islam yang memliliki solusi masalah narkoba. Islam mampu menciptakan masyarakat yang bebas dari kejahatan narkoba dengan adanya negara yang senantiasan menumbuhkan suasanan ketaqwaan individu dan kontrol masyarakat yang takut siksa yang pedih dan hanya mengharap keridhoan Allah dan menghilangakan mekanisme pengedaran dan permintaan terhadap barang haram dengan memberikan sanksi yang membaut jera bagi semua kriminalitas.
Ummu Salamah menuturkan: “Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan”(HR Abu Dawud dan Ahmad). Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) akan keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi. 1379).
Mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal. Disamping diobati/direhabilitasi, pelakunya juga harus dikenai sanksi, yaitu . Yaitu sanksi ta’zir, dimana hukumannya dari sisi jenis dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad qadhi. Sanksinya bisa dalam bentuk ekspos, penjara, denda, jilid bahkan sampai hukuman mati dengan melihat tingkat kejahatan dan bahayanya bagi masyarakat.
Pelaksanaan hukuman itu harus dilakukan secepatnya, tanpa jeda waktu lama dari waktu terjadinya kejahatan dan pelaksanaannya diketahui atau bahkan disaksikan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat paham bahwa itu adalah sanksi atas kejatahan itu dan merasa ngeri. Dengan begitu seiap orang akan berpikir ribuan kali untuk melakukan kejahatan yang serupa. Maka dengan itu kejahatan penyalahgunaan narkoba akan bisa diselesaikan tuntas melalui penerapan syariah Islam. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.