SAAT menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khaththab selalu blusukan tiap malam ke wilayah-wilayah pemerintahannya. Ia blusukan dari satu tempat ke tempat lain agar mengetahui kondisi rakyatnya secara langsung.
Di suatu malam, Umar melakukan ronda seperti biasa. Ia berjalan mengelilingi suatu daerah yang menjadi bagian pemerintahannya. Hingga ia pun merasa lelah dan istirahat sejenak dan bersandar di sebuah tembok rumah. Tanpa sengaja, terdengar sayup-sayup perbincangan si penghuni rumah.
Umar pun tertarik pada percakapan tersebut ketika ia mendengar seorang wanita menyuruh anaknya untuk mencampurkan air ke dalam susu. Sebab sebelumnya, di pagi hari, Umar baru saja membuat aturan perniagaan susu. Sang khalifah kedua melarang pedagang susu mencampurkan air lalu menjualnya.
“Campurkanlah susu itu dengan air,” kata wanita tersebut.
Sang anak yang terdengar sebagai suara wanita muda pun menolaknya.
“Bagaimana mungkin aku mencampurkannya, sementara Khalifah Umar melarangnya?”
Mendengar jawaban putrinya, si ibu lantas menjawab, “Umar tidak mengetahuinya.”
Umar bin Khaththab makin serius mendengar percakapan ibu dan anak tersebut. Apalagi ia mendengar namanya disebut-sebut. Sang shahabat Rasulullah pun penasaran dengan jawaban anak perempuan itu.
“Khalifah Umar tidak mengetahuinya, namun Rabb-nya pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”
Betapa senangnya Umar mendengar jawaban si putri shalehah itu. Ia pun meminta seorang yang menemaninya blusukan, yakni Aslam, untuk menandai rumah tersebut.
Keesokan paginya, Umar memerintahkan Aslam untuk kembali ke rumah yang ditandai semalam.
“Aslam, pergilah ke tempat itu, lalu cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan siapa yang ia ajak bicara. Apakah keduanya memiliki suami.”
Aslam pun mencari tahu informasi tentang wanita shalihah yang membuat Umar takjub. Diketahuilah bahwa dua wanita yang bercakap semalam merupakan ibu dan anak penjual susu. Ibunya berstatus janda dan si wanita shalihah adalah anak perempuannya yang masih gadis. Aslam pun segera mengabarkannya pada sang khalifah.
Mendengar kabar dari Aslam, Umar bin Khaththab segera mengumpulkan putra-putranya.
“Adakah di antara kalian yang ingin menikah?”
Ashim bin Umar bin Khaththab pun yang menyambutnya, “Ayah, aku belum beristri, karena itu nikahkanlah aku.”
Umar bin Khaththab pun segera melamar si wanita shalihah anak penjual susu itu untuk menjadi istri putranya, Ashim.
“Pergilah anakku, dan nikahilah anak perempuan itu,” kata Umar kepada Ashim.
Dari keturunan mereka lah di masa kemudian lahir sosok pemimpin yang luar biasa. Dari rahim si wanita shalihah, lahir anak perempuan bernama Laila binti Ashim bin Umar bin Khaththab. Laila cucu Umar, lalu menikah dengan salah seorang gubernur Umayyah, Abdul Aziz bin Marwan. Dari keduanyalah lahir khalifah umat Islam yang terkam arif dan bijak, yakni Umar bin Abdul Aziz bin Marwan.
Umar bin Abdul Aziz merupakan salah satu khalifah dari Dinasti Umayyah yang pernah membawa masa keemasan pemerintahan Islam. Ia diangkat bukan berdasarkan nasab ayah-anak sebagaimana khalifah pendahulu Dinasti Umayyah. Ia dipilih meneruskan kekhalifahan karena sifat kepemimpinannya. Ia pun dijuluki Umar II, bukan hanya karena ia cicit dari Umar bin Khaththab, melainkan karena sifat dan kebijaksanaannya yang mirip dengan sang kakek. []
SUMBER: MUSLIMAH DAILY