Oleh: Wardah Abeedah
Anggota Revowriter, Pemerhati Anak
Menjadi orangtua, bukan sekedar memastikan perut anak kita kenyang dan gizinya terpenuhi.
Menjadi orangtua, bukan sekedar memastikan kebutuhan dan keinginannya secara materi tercukupi.
Menjadi orangtua, bukan sekedar menjadikan nilai-nilai sekolahnya tak di bawah- rata-rata, mendapat pendidikan layak hingga siap kerja.
Menjadi orangtua, bukan sekedar memastikan kelak anak bisa menopang hidupnya dan keluarganya secara materi.
Bukan itu!
Memiliki predikat ibu atau ayah itu otomatis. Bukankah, setiap wanita yang melahirkan pastilah mendapat predikat ibu tanpa perlu sebuah surat ijin, dan uji kelayakan apalagi ijazah sekolah ibu? Sebagaimana juga lelaki yang telah memiliki anak, ia otomatis mendapat predikat ayah. Tapi, untuk menjadi orangtua hebat dan baik di mata Allah yang mampu membawa ke surga tidaklah mudah. Itu semua butuh ilmu, doa, dan effort tinggi.
Produk Parenting Gagal VS Produk Parenting Baik
Bunda, Ayah, mendidik anak adalah kewajiban yang dibebankan Allah bagi tiap orangtua. Mendidik sejatinya merupakan sebuah proses berbuah pahala. Berbicara menjadikan anak berkepribadian hebat, maka kuncinya adalah pendidikan. Dalam Islam, orangtua adalah madrasah utama bagi anak. Rasulullah SAW bersabda, ”Pemberian terbaik yang diberikan orangtua kepada anak adalah pendidikan.”
Dalam sebuah proses pendidikan pastinya diawali input dan diakhiri dengan output. Bisa jadi proses kita sebagai orangtua salah karena kita belum tahu output seperti apa yang hendak kita cetak. Apakah mandiri secara ekonomi, prestatif secara akademik, menjadi mesin uang bagi orangtua, atau tujuan lainnya yang sesuai amanat Allah?
Yang perlu disadari di sini, anak sebagai input bukanlah milik kita. Anak itu makhluk Allah yang dititipkannya pada orangtua. Atas kuasa Allah, pembuahan antara sprema dengan ovum terjadi, kemudian menjaganya dan menumbuhkannya dari embrio hingga menjadi janin. Allah pula yang memeliharanya hingga lahir dengan selamat dan berada dalam buaian orangtua.
Kelak titipan Allah itu akan dimintanya kembali. Lalu di yaumil akhir kita akan berada di hadapanNya dengan merasa takut dan hina karena menyia-nyiakan amanah dariNya, atau kita akan mengajukan jawaban dengan tersenyum bangga atas keberhasilan kita membentuk buah hati sesuai mau Sang Pemilik.
Karena anak bukanlah milik kita, maka harusnya output yang ditargetkan sesuai kehendak Allah. Apa kehendak Allah pada anak-anak kita? Di sini, bisa kita lihat apa tujuan Allah menciptakan dan menjadikan manusia berada di muka bumi.
Pertama, menjadi hamba Allah yang taat, tunduk dan patuh padaNya. Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepadaku.” (Q.S adz-Dzaariyaat: 56).
Makna kalimat ‘kecuali untuk (beribadah) menyembahku,’ menurut para mufassir berarti taat, tunduk, dan patuh pada apa yang disyariatkan Allah. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan pada Allah akan menghantarkan kita pada keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat. Sebab, ia dalam menjalankan hidupnya akan sesuai arahan dari zat Yang Maha Benar. Tepatnya, perilaku hidupnya senantiasa ada di bawah petunjuk Allah dalam kebaikan.
Anak yang paham posisinya sebagai hamba Allah, ia akan berbakti pada orangtua. Sebab, itu perintah Allah. Saat di luar rumah, meski jauh dari orangtua dia tidak akan mengkonsumsi narkoba, minuman keras apalagi bertindak kriminal kerena kesadarannya atas pengawasan ketat Allah. Lebih jauh, tiap langkah hidup dan keputusan yang diambilnya selalu melibatkan Allah. Bahkan meski ketaatannya itu terkadang mendatangkan ujian atau celaan baginya, dia senantiasa merasakan bahagia.
Kedua, sebagai pemimpin dunia. Allah berfirman, Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ (Q.S. Al-Baqarah: 30).
Khalifah atau pemimpin di bumi? Terlalu melangitkah tujuan ini? Tentu tidak sahabat ummi. Nabi Adam moyang kita, diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah alias pemimpin di muka bumi. Begitu pula kita keturunannya. Jika Allah mengajarkan kita untuk meraih goal ini, artinya setiap kita orangtua, mampu mewujudkannya.
Pemimpin adalah mereka yang mampu mengurus hidupnya sendiri dan menyelesaikan masalahnya sebesar apapun. Dialah yang berani mengambil keputusan hidup untuk dirinya. Menjalankan kewajiban pada Allah tanpa harus disuruh. Pemimpin dapat bertanggungjawab dengan baik terhadap dirinya. Lalu, dia mampu memberi solusi pada problem massa yang dipimpinnya dengan penuh tanggungjawab dan mempengaruhi followers-nya menjadi lebih baik di mata Allah.
Aplikasinya, untuk anak berusia tamyiz hingga pra baligh, karakter ini tampak pada kemampuan anak melaksanakan shalat tanpa disuruh. Mereka sudah terbiasa membersihkan kamar dan mengurus keperluannya sendiri. Ketika teman-temannya melakukan maksiat, dia berani berkata tidak dan menolak untuk ikut-ikutan. Bahkan, ia mampu mengajak dan mempengaruhi teman-temannya untuk berbuat baik.
Berkaca dari Al-Fatih
Salah satu sosok pemimpin yang hebat lagi masyhur di dunia Islam adalah Muhammad Al-Fatih. Di usia delapan tahun, dia menghafal 30 juz Al-Quran, menguasai delapan bahasa. Sejak baligh, panglima perang terhebat ini belum pernah meninggalkan shalat jamaah, rawatib dan tahajjud.
Bisa dibayangkan, kenapa indikasi disiplin shalat mampu menghantarkannya menjadi pemimpin dunia? Jika dia tak pernah tertinggal shalat berjamaah, itu artinya dia baik dalam mengatur jadwal hariannya. Jika dia tak pernah tertinggal tahajjud, itu tanda pola tidur, makan, dan hidupnya juga baik yang menjadikan tubuhnya sehat sehingga senantiasa kuat beribadah. Semua itu, sudah terpola baik bahkan sebelum dia memasuki tahapan baligh, saat masih kecil. Kepemimpinan yang terwujud sedini mungkin ini, menjadi bekal bagi peran hebatnya memimpin kekhalifahan Utsmani dan membebaskan Konstantinopel di usia belia.
Bunda, Ayah, sejatinya sarana apapun seperti mainan, buku, sekolah, les, dan lainnya yang diberikan orangtua pada anaknya itu, tidak boleh luput dari tujuan pendidikan anak. Jadi, ‘haram’ bagi orangtua memberikan sarana apapun yang justru menjauhkan anak dari dua tujuan yang telah ditentukan Allah. Dalam arti lain, keberhasilan dan kegagalan orangtua dalam mendidik anak, bisa dilihat dari tercapainya dua tujuan tersebut. Pertanyaannya, sudahkah karakter pemimpin dan ketaatan itu melekat kuat pada anak-anak kita? Allahu a’lam bis shawab. []