Oleh: Syafruddin Ramly
syafruddinramly@yahoo.com.au
ALLAH memberikan keutamaan pada sebahagian hari, malam dan bulan-bulan sesuai dengan kehendak Hikmah-Nya, agar para hamba-Nya dapat lebih giat dan bersunguh-sungguh dalam menggapai kebaikan dan memperbanyak aktivitas-aktivitas positif atau amal-amal soleh. Namun sering kali syaitan -baik dari kalangan jin maupun manusia- berusaha menghalangi hamba-hamba-Nya untuk menempuh jalan yang lurus, dan syaitan terus mencari-cari kesempatan untuk menghalangi manusia untuk menggapai kebaikan. Oleh karena itu syaitan berusaha menipu manusia terkait waktu-waktu afdhal tersebut, denan cara menentukannya sesuai dengan hawa nafsu para oknum, dan tidak murni benar-benar dari tuntutan Allah dan Rasul-Nya.
Sebagian kelompok dari oknum ummat ini, ada yang medorong-dorong kaum muslimin untuk melakukan amalan-amalan tertentu yang tidak ada tuntutannya dari Allah dan Rasul-Nya, meskipun terkadang dilakukan dengan niat baik namun si oknum tidak punya bekal ilmu yang cukup terkait hukum-hukum Islam. Sebagaimana ada pula oknum lain yang melakukan itu demi kepentingan pribadi untuk menokohkan dirinya dalamranah keagamaan. Dan ada juga yang melakukannya dengan motiv kekhawatiran bahwa dirinya akan tercampak dari gelanggangan ke agamaan (pengajian, majlis taklim, dan ceramah musiman) jika tidak mampu mengkreasi ibadah-badah baru dan maklumat-maklumat baru terkait ibadah-ibadah musiman ini.
Seorang Ulama yang bernama Hassan Bin Athiyyah berkata, “Selangkah kaum maju ke kepada bid’ah maka selangkah juga mereka dijauhkan Allah dari Sunnah Nabinya, dan Allah tidak akan mengembalikan mereka kepada sunnah nabi sampai hari kiamat tiba”.
Ayyub Al-Sikhtiany mengatakan, “semakin orang bersikeras untuk berkreasi dalam ibadahnya dan berbid’ah, maka akan semakin jauh dari Allah”.
“ما ابتدع قوم بدعة في دينهم إلا نزع الله من سنتهم مثلها ، ولا يعيدها إليهم إلى يوم القيامة” (الحلية ، 6/73( . وقال أيوب السختياني: “ما ازداد صاحب بدعة اجتهاداً إلا زاد من الله بعداً”. (الحلية ، 3/9)
Diantara bid’ah musiman yang paling mencolok dan banyak dilakukan orang adalah itu adalah bid’ah-bid’ah bulan Rajab. Dan dalam artikel ini saya akan fokus menulis ibadah-ibadah kreatif pada bulan Rajab saja, dimana saya akan menampilkan bukti-bukti atau dalil-dalil dari syariat Islam dan perkataan dari para ulama akan kebid’ahannya. Hal ini saya lukan dalam rangka menasehati ummat dan mengingatkan mereka kembali, semoga saja hidayah dapat kembali menerangi hati-hati saudara kita. Dan bagi mereka yang sudah terlanjur dalam kegelapan bid’ah dan kebodohan dapat kembali terbuka mata dan telinganya.
Benarkah Bulan Rajab Lebih Istimewa Daripada Bulan-Bulan Lainnya?
Ibnu Hajar Berkata, “Tidak ada satupun hadis sohih yang bisa dijadikan hujjah/dalil/bukti keistimewaan bulan Rajab, atau keistimewaan puasa di bulan Rajab, atau keistimewaan shalat malam di bulan Rajab. Sesungguhnya banyak dari ulama-ulama dahulu yang meyakini seperti apa yang saya yakini, seperti Imam Abu Ismail Al-Harawi Al-Hafiz, yang mana kami rawikan dari beliau dengan sanad yang sohih, begitu juga yang pernah kami rawikan dari yang lainnya terkait hal tersebut”.
“لم يرد في فضل شهر رجب، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه.. حديث صحيح يصلح للحجة،وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن غيره” (تبيين العجب فيما ورد في فضل رجب ، لابن حجر ، ص6 ، وانظر: السنن والمبتدعات للشقيري ، ص125)
Imam Ibnu Hajar juga pernah mengatakan, “Hadis-hadis yang pernah ada terkait kelebihan atau keistimewaan bulan Rajab atau keistimewaan puasa di bulan Rajab, terbagi kepada dua: Hadis Lemah dan Hadis Palsu. Dan kami akan menyampaikan hadis-hadis lemah itu, sebagaiman kami juga akan menyinggung hadis-hadis palsu terkait hal tesebut”.
“وأما الأحاديث الواردة في فضل رجب ، أو في فضل صيامه ، أو صيام شيء منه صريحة: فهي على قسمين: ضعيفة ، وموضوعة ، ونحن نسوق الضعيفة ، ونشير إلى الموضوعة إشارة مفهمة” (تبيين العجب فيما ورد في فضل رجب ، لابن حجر ، ص8)
Shalat Al-Raghaib
Pertama: Tata Caranya. Pernah disebutkan dalam sebuah hadis palsu, dari Anas dari Nabi saw berkata, “barang siapa yang berpuasa pada hari Kamis (awal bulan Rajab), kemudian sholat pada malamnya (Malam Jumat) sebanyak 12 rokaat dengan membaca Al-Fatihah sebanyak 1 kali, kemudian membaca Inna Anzalnahu sebanyak 3 kali, kemudia membaca Qul Huwallahu Ahad sebanyak 12 kali, dan shalat dilakukan dengan satu kali salam pada setiap dua rokaatnya, lalu bershalawat kepada saya sebanyak 70 kali setelah selesai shalat. Dan bacaan pada setiap sujudnya adalah subbuuhun quddusun rabbul malaikati warruh sebanyak 70 kali, dan bacaan waktu duduk diantara dua sujudnya adalah rabbi ighfir warham watajawaz ‘amma ta’lam, kemudian dia meminta apa saja kebutuhannya, maka Allah pasti akan memenuhinya”. Dalam Hadis palsunya juga dikatakan bahwa Rasulullah juga bersabda, “Demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya, setiap hamba dan ummat yang yang melaksanakan sholat ini pasti akan diampunkan Allah semua dosa-dosanya, meskipun dosanya sebanyak buih di laut, sebanyak butiran pasir, seberat gunung, dan sebanyak dedaunan pepohonan, dan nanti kelak pada hari kiamat dia akan memberi syafaat kepada 700 orang keluarganya yang sudah diputuskan masuk neraka”. Wow, lumayan lebai nih hadis palsu.
“ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار” (إحياء علوم الدين ، للغزالي ، 1/202 ، وتبيين العجب فيما ورد في فضل رجب ، ص 22 24. )
Kedua, Komentar Para Ulama Terkait Shalat Al-Raghaib
Imam Nawawi berkata, “Shalat Raghaib itu bid’ah keji dan kemungkaran tingkat dewa. Shalat ini termasuk jenis pekerjaan yang terlarang, sehingga wajib ditinggalkan dan diabaikan, dan wajib pula melarang orang-orang yang mengerjakannya”.
“هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار ، مشتملة على منكرات ، فيتعين تركها والإعراض عنها ، وإنكارها على فاعلها” (فتاوى الإمام النووي ، ص 57.)
Ibnu Nuhas berkata, “shalat Raghaib itu bid’ah, dan para ulama hadis sepakat bahwa hadis terkait shalat Raghaib itu palsu”.
“وهي بدعة ، الحديث الوارد فيها موضوع باتفاق المحدثين”( تنبيه الغافلين ، ص 496. )
Ibnu Taimiah berkata, “Shalat Raghaib itu tidak ada dasarnya, melainkan hasil kreasi para oknum, tidak disunnatkan baik secara pribadi maupun berjamaah. Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Nabi melarang mengkhususkan malam Jumat untuk shalat malam atau mengkhususkan hari Jumat untuk berpuasa. Atsar yang dijadikan dalil shalat Raghaib adalah kedustaan dan palsu seperti yang sudah menjadi kesepakatan atau konsensus para Ulama, dimana atsar tersebut tidak pernah disebutkan oleh para ulama salaf dan para Imam-Imam Hadis”.
“وأما صلاة الرغائب: فلا أصل لها ، بل هي محدثة ، فلا تستحب ، لا جماعة ولا فرادى؛ فقد ثبت في صحيح مسلم أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نهى أن تخص ليلة الجمعة بقيام أو يوم الجمعة بصيام ، والأثر الذي ذكر فيها كذب موضوع باتفاق العلماء ، ولم يذكره أحد من السلف والأئمة أصلاً” ( الفتاوى لابن تيمية ، 23/132 ، وانظر: الفتاوى ، 23/134 135. )
Sementara Al-Tharthusyi pernah menjelaskan awal dikreasinya shalat Raghaib, “Abu Muhammad Al-Maqdasi menceritakan kepadaku, bahwa sebelum-sebelumnya, di Baitul Maqdis tidak pernah ada tuh shalat Raghaib yang banyak dikerjakan orang-orang pada bulan Rajab dan Sya’ban. Pertama kali ibadah ini dibuat di Baitul Maqdis pada tahun 448 H, waktu itu ada seorang yang datang dari Nablus ke Baitul Maqdis. Orang tersebut dikenal dengan panggilan Ibnu Abil Hamra’, bacaannya bagus, lalu dia melakukan shalat malam Nisfu Sya’ban di Masjid Al-Aqsa. Sedangkan shalat Rajab tidak pernah dilaksanakan di Baitul Maqdis kecuali pada tahun 480H, dan kami sama sekali tidak pernah mengenal dan mendengar jenis shalat aneh tersebut sebelum-sebelumnya”. Dan para Ulama sudah memutuskan dan meyakini bahwa hadis terkait shalat Raghaib adalah hadis palsu, deiantaranya adalah Ibnu Jauzy dalam kitabnya yang berjudul “Kumpulan Hadis-Hadis Palsu (الموضوعات), dan Al-Hafizh Abu Al-Khattab, Abu Syamah. Sementara Itu, Ibnu Al-Haj dan Ibnu Rajab sudah memutuskan dan meyakini bahwa shalat Raghaib adalah bid’ah, seperti yang mereka riwayatkan dari Abi Ismail Al-Anshary dan Abi Bakar Al-Sam’aniy, Abu Al-Fadhal Bin Nasir dan yang lainnya.
“وأخبرني أبو محمد المقدسي ، قال: لم يكن عندنا ببيت المقدس قط صلاة الرغائب هذه التي تصلى في رجب وشعبان ، وأول ما حدثت عندنا في سنة ثمان وأربعين وأربعمئة ، قدم علينا في بيت المقدس رجل من نابلس ، يعرف بابن أبي الحمراء ، وكان حسن التلاوة ، فقام فصلى في المسجد الأقصى ليلة النصف من شعبان… إلى أن قال: وأما صلاة رجب فلم تحدث عندنا في بيت المقدس إلا بعد سنة ثمانين وأربعمئة ، وما كنا رأيناها ولا سمعنا بها قبل ذلك” (الحوادث والبدع ، ص103، الباعث على إنكار البدع والحوادث ، ص 61 67، و المدخل ، 1/211، ولطائف المعارف ، تحقيق الأستاذ / ياسين السواس ، ص 228، ومقدمة مساجلة العز بن عبد السلام وابن الصلاح ، ص 7 8)
Ketiga, Hukum Melaksanaan Shalat Raghaib Demi Menjaga Stabilitas Jamaah Awam.
Abu Syamah mengatakan, “banyak juga para imam masjid (yang pada masa itu merangkap sebagai penceramah) mengatakan kepada saya bahwa mereka tetap membiarkan shalat Raghaib itu dilestarikan hanya demi menjaga perasaan masyarakat awam, demi menjaga eksistensinya di masjid tersebut biar tidak dicopot”. Ini adalah bukti bahwa mereka melaksanakan shalat tersebut bukanlah dengan niat yang benar untuk menghambakan diri berdiri di hadapan Allah. Alasan bid’ah dengan salah niat ini saja sudah mencukupi seandainya tidak ada alasan-alasan lainnya. Siapapun yang mengimani shalat ini atau menganggapnya baik, maka orang tersebut termasuk menjadi bagian dari penyebab pelestarian bid’ah ini, karena keyakinannya telah menipu masyarakat awam dan berdusta atas nama syariat. Seandainya masyarakat awam terus diberi pemahaman yang benar secara kontinyu tahun demi tahun, niscaya dengan sendirinya mereka akan meninggalkan bid’ah ini, meskipun dapat berakibat tergesernya eksistensi para pecinta bid’ah dan para pelestari bid’ah”. (lih. Al-Ba’ists ‘ala inkar al-bida’ wal hawadist, hal 105). Apa yang dilakukan para Imam dan penceramah masjid tersebut diatas tidaklah jauh berbeda dengan apa yag dilakukan oleh para petinggi agama Yahudi pada zaman dahulu kala dimana mereka mengkreasi ayat-ayat baru dan mengklaimnya sebagai ayat-ayat Tuhan lalu mempromosikannya kepada masyarakat awam untuk tetap dilesatarikan demi menjaga eksistensi mereka dihadapan masyarakat awam (lih. Q.S.Al-Baqarah:79)
Isra Dan Mikraj
Satu dari sekian mukjizat terbesar Nabi Muhammad ialah peristiwa Isra dan Mikraj, yaitu perjalanan Nabi Muhammad pada malam hari dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, kemudian naiknya Nabi melintasi langit ketujuh. Sebahagian umat Islam, banyak yang melaksanakan peringatan Isra dan Mikraj pada malam 27 Rajab, dengan dalil-dalil yang tidak jelas. Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ibnu Dahyah bahwa, “para pendongeng menyebutkan bahwa kejadian Israk pada bulan Rajab, padaha hal itu kedustaan belaka” (lih. Tabyiin al-‘Ajab, hal.6).
Ibnu Rajab mengatakan, “Ada sebuah riwayat yang tidak sahih dari Qasim Bin Muhammad, bahwa Nabi melakukan Israk pada 27 Rajab. Dan Ibrahim Al-Harbiy menafikan hal itu, begitu juga yang lainnya. (lih. Zad Al-Mi’ad-Ibnu Qayyim, 1/275). Sementara Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Bari 7/242-243 menuliskan terkait silang sengketa pendapat dalam masalah waktu Mikraj. Ibnu Hajar menjelaskan, ada yang yang mengatakan peristiwa itu terjadi pada bulan Rajab, dan ada pulang yang mengatakan terjadi pada bulan Rabiul Awwal, dan ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan atau Syawwal. Sebagaimana Ibnu Taimiyyah juga mengaminkan silang-sengketa pendapat tersebut dengan mengatakan, “tidak ada dalil yang disepakati terkait kapan bulan apa peristiwa Israk-Mikraj itu terjadi, tidak juga ada ketentuan kejadiannya pada sepuluh hari pertama bulan tertentu, atau kedua atau ketiga, dan tidak juga ada ketentuan tanggal berapanya. Semua nukilan terkait hari peristiwa Israk dan Mikrak disepakati sebagai masalah khilafiah, sehingga tidak ada kepastian sama sekali kapan terjadinya. (lih. Latha’if el-Ma’arif, hal. 233) Bahkan, seandainya sekalipun ada kepastian tanggal peristiwa Israk-Mikraj, namun tidak ada pensyariatan amal-amalan khusus pada hari tersebut, karena tidak pernah ada sejarahnya, baik oleh Nabi maupun oleh para sahabat Nabi atau para tabiin yang menjadikan malam Israk-Mikraj menjadi malam istimewa dan berbeda dengan malam-malam lainnya, apalagi sampai membuat acara-acara khusus untuk memeriahkannya atau memperingatinya, apalagi kalau dalam pemeriahanannya dan peringatannya itu terdapat hal-hal yang bid’ah dan kemungkaran keagamaan. (lih. Tanbih el-Ghafilin: 497, Ibnul Hajj: Al-Madkhal: 1/211-212, Ali Mahfuzh: Ibda’: 272)
Berkorban Di Bulan Rajab
Kalau sekadar menyembelih hewan untuk dimakan dan tidak dengan niatan mengistimewakan bulan Rajab, maka tidaklah mengapa untuk dilakukan. Namun dahulu bangsa Quraish pada zaman jahiliyah pernah memilik tradisi kuno dengan menyembelih hewan kurban yang dikenal dengan istilah faro’ dan ‘atiiroh. Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, yang dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka. Orang-orang Jahiliyah juga terbiasa berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai hari besar yang dilakukan pada setiap tahun. Kaum Quraish juga senang memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu. Namun, setelah Islam datang, Rasulullah melarang dua tradisi ini, Abu Hurairah meriwayatkan sabda Nabi, “Tidak ada lagi faro’ dan ‘atiiroh.”
Dalam wacana kefiqihan, memang masih ada yang membolehkan penyembelihan kurban pada bulan Rajab, seperti Ibnu Sirin dengan dalil-dalil yang menurutnya masih membolehkan. Namun pendapat lemah ini sudah dijawab dengan hadis sohih yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah tersebut diatas yang selanjutnya dijadikan sebagai pedoman untuk diamalkan. Ditambah lagi bukti lain bahwa Abu Hurairah masuk Islam terlambat (3 tahun sebelum Nabi wafat) sehingga hadis yang diriwayatkan beliau – terkait larangan berkurban di bulan Rajab- dipastikan lebih update, dan jikapun kurban pada awal-awal Islam pernah diamalkan pada bulan Rajab namun pada akhirnya ditiadakan dan dilarang (mansukh) dengan dalil hadis ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnul Mundzir. (lih. Latha’if el-Maarif:227, Al-Hazimiy: I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh : 388-390). Hasan berkata, “Atirah sudah tidak boleh lagi dalam Islam, Atirah hanya boleh pada zaman Jahiliyyah saja, dimana dahulunya masyarakat jahiliyyah berpuasa dan kemudian berkurban”. (lih. Latha’if el-Maarif:227)
Puasa dan I’tikaf Khusus Bulan Rajab
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada arahan dari Nabi untuk mengkhususkan puasa pada bulan Rajab, tidak juga dari para sahabat Nabi”. (lih. Latha’if el-Maarif:228).
Ibnu Taimiah mengatakan, “Terkait pengkhususan puasa puasa pada bulan Rajab, hadis-hadisnya lemah dan bahkan palsu sehingga para ulama sama sekali tidak pernah menjadikannya sebagai dalil. Hadis-hadis terkait puasa Rajab itu bukan masuk kategori hadis lemah yang bisa dijadikan buat landasan untuk amalan-amalan tambahan (Fadhail A’mal), melainkan benar-benar hadis palsu (موضوعات) dan hadis yang didustakan (مكذوبات). Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab sunannya dari Ibnu Abbas bahwa Nabi melarang puasa Rajab. Umar Bin Khattab juga pernah memaksa orang-orang berbuka puasa dan memaksa mereka makan pada siang hari bulan Rajab, dan berkata, “jangan samakan bulan Rajab dengan Ramadhan!”. Ibnu Taimiah melanjutkan, “Terkait pengkhususan i’tikaf pada bulan Rajab-Sya’ban-Ramadhan, saya tidak tau dari mana sumbernya. Yang saya tau, boleh-boleh saja orang beri’tikaf pada saat menjalankan puasa-puasa yang ada tuntunan dan arahannya dari nabi”. (lih. Al-Fatawa: 25/290-292)
Meski tidak ada dalil khusus terkait keistimewaan puasa pada bulan Rajab, tapi tidak berarti tidak boleh berpuasa sunat pada bulan Rajab, berhubung banyak jenis-jenis puasa umum yang bisa dikerjakan pada bulan rajab, seperti puasa Senin-Kamis, Puasa Bulan Purnama 3 hari setiap bulannya dan Puasa Daud. Yang terlarang itu -seperti yang dikatakan oleh Al-Tharthusyiy- jika puasa Rajab ini dilaksanakan secara rutin dan menjadi kewajiban baru pada setiap tahunnya layaknya seperti puasa Ramadhan, seperti yang banyak dilakukan oleh kaum muslim awam yang tidak mengerti syariat , atau meyakini bahwa melaksanakan puasa Rajab ini bagian dari sunnah yang pernah diarahkan oleh Rasulullah secara khusus layak-layaknya sunnah-sunnah pada ibadah-ibadah lainnya, atau meyakini bahwa puasa Rajab adalah puasa istimewa dan akan mendapatkan imbalan pahala khusus yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya, layaknya seperti keistimewaan puasa Asyura atau keistimewaan shalat dipenghujung malam, sehingga menjadi bagian dari amalan-amalan tambahan (fadhail a’mal). Namun sayangnya hal itu tidak pernah ada arahannya dari Nabi dan juga tidak pernah dilaksanakan Nabi walau sekali dalam hidupnya, sehingga keberadaan sebagai amalan-amalan tambahan tidak beralasan karena tidak ada dalilnya. (lih. al-Bida’ wa al-hawadits: 110-111, Ibnu Hajar: Tabyiin al-‘Ajaib: 37-38).
Umrah Pada Bulan Rajab
Sebahagian orang senang benar melaksanakan Umroh pada bulan Rajab, dengan keyakinan bahwa Umroh pada bulan Rajab itu memiliki ganjaran pahala yang lebih besar dan keistimewaan tersendiri. Padahal itu tidak ada landasannya di dalam Islam. Bukhari pernah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, “bahwa Rasulullah pernah 4 kali umroh, salah satunya beliau lakukan pada bulan Rajab. Aisyah Berkata, semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman yang menyaksikan Rasulullah setiap kali umroh, dan Rasulullah sama sekali tidak pernah melaksanakan umroh pada bulan Rajab”.
عن ابن عمر (رضي الله عنهما) ، قال: “إن رسول الله اعتمر أربع عمرات إحداهن في رجب ، قالت (أي عائشة): يرحم الله أبا عبد الرحمن ، ما اعتمر عمرة إلا وهو شاهِدُه ، وما اعتمر في رجب قط” (صحيح البخاري ، ح/1776)
Ibnu Al-Atthar mengatakan, “saya mendapat info bahwa warga Makkah terbiasa melaksanakan Umroh pada bulan Rajab, dan saya tidak tau apa dasar pengamalan mereka itu”.
قال ابن العطار: “ومما بلغني عن أهل مكة (زادها الله تشريفاً) اعتيادهم كثرة الاعتمار في رجب ، وهذا مما لا أعلم له أصلاً” ( المساجلة بين العز بن عبد السلام وابن الصلاح ، ص 56 ، وانظر: فتاوى الشيخ محمد بن إبراهيم ، 6/131(
Di Dalam Kitab Fatawa Islamiyah (2/303-304) Bin Baz Mengatakan, bahwa waktu terbaik untuk mengerjakan Umroh adalah pada bulan Ramadhan. Dalilnya adalah Sabda Nabi Muhammad saw, ” Umroh pada bulan Ramadhan -pahalanya- sama dengan haji”. “عمرة في رمضان تعدل حجة”, sehingga yang patut kita teladani adalah Rasulullah saja sebagaimana yang diperintahkan Allah pada Surat Al-Ahazab:21 ( ((لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ))
Berzakat Pada Bulan Rajab
Sebahagian umat Islam ada yang suka mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab. Ibnu Rajab mengtakan bahwa hal itu tidaklah ada landasannya dari Sunnah, sebagaimana kebiasaan itu tidak pernah terjadi pada zaman salafussoleh. bagaimanapun juga, zakat wajib dikeluarkan ketika nishab zakat sudah sampai haulnya. Masing-masing orang harus mengeluarkan zakat pada waktu sampai nishab dan haulnya tanpa memperdulikan bulan apa saja. Boleh-boleh saja mempercepat mengeluarkan zakat dalam rangka memanfaatkan moment bulan istimewa seperti Ramadhan, atau demi membantu orang yang tingkat kebutuhannya pada saat ini sangat tinggi -meskipun belum sampai haul- yang belum tentu orang serupa bisa ditemui pada saat haulnya nanti sampai. (lih. Latha’if el-Ma’arif, 231-232).
Sementara Ibnu El-Atthar, dalam kitabnya “Al-Musajalah Baina El-‘Izz wa Ibn El-Shalah:55 mengatakan, “kebiasaan banyak orang dalam mengeluarkan zakat pada bulan Rajab secara khusus, itu tidak dasarnya, melainkan hukum syara’ mewajibkan mengeluarkan zakat ketika sampai haul dan mencukupi syarat-syaratnya, baik itu pada bulan rajab atau bukan”.
Peristiwa Agung Di Bulan Rajab
Ibn Rajab mengatakan, “banyak dikabarkan bahwa pada bulan Rajab pernah terjadi berbagai peristiwa besar dan istimewa, pada hal itu tidak ada dasarnya sama sekali. Ada yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad dilahirkan pada malam awal bulan Rajab, ada pula yang meriwayatkan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab atau 25 Rajab. Pada hal itu semua tidak benar. (lih. Latha’if el-Ma’arif, 233)
Peringatan Untuk Para Penceramah
Sebahagian dari para penceramah ada yang punya proyek bid’ah musiman, seperti bid’ah Rajab, padahal banyak dari mereak yang tidak yakin benar kebenaran amalan-amalan Rajab yang mereka cermahkan itu. Mereka melestarikan bid’ah-bid’ah tersebut dengan landasan agar jamaah tidak lari atau sibuk dengan hal-hal keduniaan sehingga minim ibadahnya jika mereka meninggalkan bid’ah-bid’ah tersebut. Padahal mereka juga menyadari bahwa bid’ah sangat berbahaya dan lebih berbahaya dari kesyirikan. Setelah itu cara-cara pelestarian bid’ah dalam berceramah dan berdakwah ini sangatlah berbahaya dan menyalahi petunjuk Nabi Muhammad saw.
Kewajiban para dai adalah semata-mata mengajak manusia untuk mengerjakan sunnah murni yang tanpanya agama ini tidak dapat berdiri dan eksis. Imam Al-Tsauri mengatakan, ” “Para Ahli Fikih berkata: “Tidak akan lurus perkataan kecuali dengan perbuatan, tidak akan lurus perkataan dan perbuatan kecuali dengan niat, dan tidak akan sempurna perkataan dan perbuatan serta niat kecuali dengan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Lih. Ibnu Baththah: Al Ibanah: 1/333)
Sehingga sudah menjadi kewajiban mereka untuk mempelajari sunnah dan mengajarinya dengan benar dan mengajak dirinya dan lingkungannya untuk mempraktekkannnya, karena Nabi Muhhamd bersabda, ” Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak”, atau sabdanya, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak sesuai dengan urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak”.
“من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”
Abu Al-‘Aliah pernah memberi wejangan kepada para eahabat-sahabatnya, ” Pelajarilah Islam! Jika engkau mempelajarinya, janganlah kamu membencinya. Hendaklah engkau meniti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), yaitu Islam. Janganlah engkau belokkan Islam ke kanan atau ke kiri. Dan hendaklah engkau mengikuti Sunnah Nabimu dan yang dilakukan oleh para sahabatnya. Dan jauhilah hawa nafsu-hawa nafsu ini (yakni bid’ah-bid’ah) yang menimbulkan permusuhan dan kebencian antar manusia.”. (Lih. Ibnu Baththah: Al Ibanah: 1/338)
Akhirnya, para dai, para kiyai, para ustaz dan para penceramah diharapkan dapat mengikuti sunnah nabi semata dalam segala hal, sebagaimana mereka diharapkan dan dituntut untuk ikhlas semata-mata berdakwah demi Allah, bukan untuk kepentingan-kepentingan lainnya. Hal itu jika benar mereka menginginkan kemenangan dan kemuliaan bagi diri sendiri dan agama. Allah berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan pekerjaan yang baik, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” (Al-Kahfi, 110). Allah juga berfirman, ” Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (Al-Hajj, 40). []
***********
Judul Asli:
فضائل شهر رجب في الميزان
Penulis:
فيصل بن علي البعداني
Sumber:
مجلة البيان
http://www.saaid.net/mktarat/12/7-1.htm
Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.