JAKARTA—Direktur Perlindungan WNI Kemlu RI Lalu Muhammad Iqbal menyayangkan eksekusi mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap warga negara Indonesia (WNI) Muhammad Zaini Misrin, pada Ahad (18/03/2018) tanpa pemberitahuan sebelumnya terhadap pemerintah Indonesia.
“Kita menyayangkan bahwa eksekusi itu dilakukan pada saat PK kedua baru dimulai. Jadi masih dalam proses dan belum ada kesimpulan akhir,” ujar Lalu Muhammad Iqbal.
Sebelumnya, Anis Hidayah, aktivis Migrant Care, sebuah lembaga advokasi pekerja migran, menuding pemerintah Arab Saudi tak menerapkan prinsip peradilan yang adil dan melanggar kesantunan diplomatik karena tak memberitahu Indonesia soal rencana eksekusi mati Zaini.
Tindakan itu, menurut Anis, pernah dilakukan pemerintah Saudi ketika mengeksekusi TKI bernama Ruyati pada tahun 2011.
“Nota protes harus dikirimkan kepada Arab Saudi. Ini bukan kasus yang pertama. Tata krama Saudi harus ditegur,” kata Anis di Jakarta, Senin (19/03). Dia merujuk Konvensi Wina tahun 1963 yang mengharuskan setiap negara memberitahukan penahanan, penyelidikan, sidang pengadilan sampai eksekusi hukuman atas warga negara lain.
Anis juga mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan kunjungan kenegaraan ke Arab Saudi, Mei mendatang. Ia berkata, langkah itu dapat menunjukkan sikap Indonesia terhadap eksekusi diam-diam terhadap Zaini.
Apalagi, Anis mengungkapkan, Â saat ini dua buruh migran asal Majalengka, Jawa Barat, yaitu Tuti Tursilawati dan Eti, juga menanti eksekusi mati di Arab Saudi. Keduanya divonis bersalah pada perkara pembunuhan.
Selain itu, sejumlah WNI pun menghadapi ancaman eksekusi di beberapa negara lain, seperti Malaysia, Singapura, dan Cina.
Sementara itu, pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa Kementerian Luar Negeri tidak dapat mempersoalkan notifikasi eksekusi mati Zaini Misrin.
Namun menurut pakar hubungan internasional dari Universitas Indonesia itu, Pengiriman notifikasi eksekusi mati itu merupakan etika diplomatik yang tidak dapat diseret ke ranah hukum.
“Kalau mereka tidak memberikan notifikasi, bukan berarti pemerintah Indonesia dapat menggugat atau mengajukan keberatan. Ini masalah sopan santun diplomatik, bukan masalah hukum,” ujarnya seperti dikutip dari BBC, Selasa (20/3/2018).
Hikmahanto menuturkan, Korea Utara beberapa kali juga tak mengirim pemberitahuan perihal eksekusi mati kepada negara asal terpidana, seperti Amerika Serikat. Sebaliknya, Indonesia menjalankan etika diplomatik itu saat hendak mengeksekusi delapan warga asing dalam kasus narkotik di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, tahun 2015.
“Jika ada notifikasi, perwakilan pemerintah dan keluarga bisa hadir dalam eksekusi itu. Terpidana juga bisa menyampaikan pesan terakhir,” jelasnya. []
SUMBER: BBC