Oleh: Raidah Athirah
Penulis, Kontributor Islampos, Tinggal di Polandia
SAYA telah melewati 3 kali Desember di Polandia dalam rumah keluarga Pisarzewski.
Tetapi jangan Anda kira bahwa saya dan Abu Aisha (suami saya) saat acara Natal ikut bergabung. Jauh sebelum kami menikah, suami sudah menjadi muslim.
Apakah lantas hubungan dengan keluarganya terputus? Tidak! Justru kedua mertua saya yang dengan lisan mereka sendiri mengatakan bahwa suami setelah menjadi Muslim semakin baik adab/manners kepada mereka.
Suami bahkan semakin dekat silahtuhrahmi. Hanya saja memang ada hal-hal yang berubah. Dan hal ini terkait dengan masalah prinsipil /keyakinan, salah satunya yakni ” toleransi”.
Abu Aisha setelah menjadi muslim berusaha memberi pengertian kepada kedua orang tua bahwa semua yang berkaitan dengan ibadah, keyakinan agama memiliki batas masing-masing yang harus dijaga dan tidak boleh dicampurakkan.
Salah satu tradisi yang sudah biasa menjelang Desember adalah perayaan Natal. Tidak pernah suami mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada kedua orangtuanya. Setelah menikah, justru saya yang mulai dididik karena awalnya ada perasaan tidak enak. Khawatir keluarga suami menggangap saya ekstrem. Waktu itu tahu sih iya tapi itu ‘perasaan dilematis’.
Padahal kedua mertua saya biasa saja. Mereka juga sudah paham. Nggak ada istilah jadi hubungan retak. Ini karena pernah Abu Aisha mengajak ibu mertua ke Masjid Warsawa.
Beliau justru senyum sambil mengatakan, “Mana mungkin saya Kristiani ikut acara di masjid?”
Dan selesai sudah penjelasan panjang lebar dengan kesimpulan jelas, terang, dan mencerahkan bahwa begitu pula suami yang sudah menjadi Muslim mana mungkin ikut acara Kristiani.
Waktu saya kena Postpartum Depression, itu lagi sibuk-sibuknya keluarga Pisarzewski mempersiapkan acara Natal. Tak sedikit pun terbesit keinginan untuk bergabung. Mereka pun sudah tahu. Pernah menelpon suami kalau Aisha dirawat saja ibu mertua karena menjelang Natal beliau mendapat cuti panjang. Suami tetap nggak memperbolehkan.
Ibu mertua bertanya mengapa?
Abu Aisha menjawab, “Aisha seorang Muslimah, tidak sepantasnya diperkenalkan dengan tradisi Kristiani. Nanti saja kalau sudah selesai dari acara itu.”
Padahal saya waktu itu lagi sakit. Butuh Nani. Alhamdulillah, kedua mertua saya tidak mempermasalahkan. Justru mereka menyewa kenalan perempuan Polandia yang cantiknya ngalahin Luna Maya (ini saya serius memang sepintas agak mirip artis Indonesia ini).
Lima hari dalam seminggu dia datang. Kerjanya kayak asisten rumah tangga. Saya bahkan merasa nggak enak kalau dia bersihin toilet. Kadang sifat rendah diri saya suka muncul, masih memandang bule itu ‘wah’, lupa bahwa sama-sama manusia.
Sering juga dia gendong Aisha kalau saya mau sholat. Dia tahu saya muslimah. Mertua saya bilang dia bilang ke kalangan teman-temannya kalau dia suka sekali ke apartemen di Jablonna.
Alhamdulillah, semuanya atas pertolongan Allah kami terjaga dari dosa besar yakni menyekutukan Allah. Sebagai manusia saya paham bahwa kerap kali dalam kehidupan, kita dibenturkan dengan keadaan macam ini. Hendaklah kita tenang. Mohon perlindungan Allah dan sekuat keyakinan mempertahankan apa yang kita yakini.
Kedua mertua sampai saat ini biasa saja. Tak ada perselisihan atau kemudian putus hubungan atau tidak saling menyapa lantaran kami tidak mengucapkan “Selamat Hari Natal”.
Nasihat ulama untuk Abu Aisha bahwa walaupun telah berbeda keyakinan orang tua haruslah tetap dihormati, disayangi, dan dipatuhi, selama tidak menyuruh kepada kemaksiatan atau menyekutukan Allah.
Silah tanyakan kepada bapak Abdullah, bagaimana adab suami saya kepada beliau?
Subhanallah semuanya normal. Maka sayapun tersadar dan juga malu bahwa pemahaman saya terhadap toleransi adalah pemahaman sempit. Ada yang saya banggakan dari sister-sister mualaf di Polandia mereka berjuang keras memahamkan Islam dan toleransi yang benar kepada keluarga mereka yang non-muslim.
Begitulah saudara toleransi itu indah dan telah jelas.
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku,” (QS. 109:6). []