“AKU bertemu dengannya. Dua kali,” ceritanya kepada saya, tahun 2011. Ketika itu kami tengah mengadakan reuni SMA.
“Terus?” saya malah bertanya padanya.
“Ia sudah berpisah dengan suaminya.”
“Dan?” tanya saya lagi.
“Sudah itu saja. Kami hanya berbincang. Tak lebih. Ia ditemani oleh kakak perempuannya.”
“Dan kau ditemani oleh istrimu?” tanya saya lagi.
Ia tertawa keras.
Saya tertawa kecil, “Hati-hatilah kau akan cinta lamamu itu…”
Itu perbincangan dengannya, karib saya, pertama kalinya setelah 10 tahun tak bersua hilang tak berimba. Facebook menemukan lagi kami berdua. Lanjut di BBM, kami kembali bersinggungan intens laiknya di SMA dulu. Yang kurang hanya pertemuan langsung. Karena pekerjaan, ia menetap di ibukota. “Aku akan ke Purwakarta segera, dan kita bisa bertemu,” ujarnya suatu kali. Oke, jawab saya.
Pertemuan pertama itu terjadi satu tahun kemudian setelah itu. Ia masih seperti dulu. Bedanya, agak gemuk. Saya ingat, 20 tahun sebelumnya ketika di SMA, kami adalah karib. Ia sering menginap di kamar saya yang butut, berbincang hingga pukul 02.00 dini hari. Tahun 1995, kuliah mencerabut segalanya. Ia kuliah di Jakarta, ikatan dinas departemen keuangan. Setahun setelah itu, ia tak pernah muncul lagi dalam kehidupan saya, seperti saya dalam kehidupan dia. Namun saya tak pernah melupakan karib setia itu.
Pertemuan kami berikutnya setelah sama-sama sekian lama menghilang diwarnai pula pertemuan ia kembali dengan cinta masa lalu di SMA—adik kelas. Suatu kali, ia mempertemukan saya dengan cinta masa lalunya itu, tentu saja saya kenal, dan tentu saja pula adik kelas tersebut tahu soal saya dan kisah cinta mereka. Kami berbincang sebentar.
Satu tahun berikutnya, lewat BBM, ia mulai membicarakan soal pernikahan yang tidak bahagia. Saya menanggapi sewajarnya.
“Kau masih belum melupakannya?”
Ia meringis lagi. “Ya,” akunya.
“Kalau begitu kau harus tegas. Aku menyarankan jangan sampai kau beri perhatian palsu, sekaligus kau mengkhianati keluargamu sekarang ini,” ujar saya padanya.
“Aku harus bagaimana?”
“Kau lelaki. Kau seorang ayah. Kau harus bisa mendiskusikan hal ini dengan istri dan anak-anakmu…”
“Anak-anak masih kecil…”
“Pada waktunya mereka akan belajar mengerti. Mau kemana kau dengan dia—cinta masa lalumu itu—sekarang ini?”
Dia terdiam.
Percakapan itu terhenti. Di lain waktu, ia beberapa kali menelefon meminta bantuan, jika sewaktu-waktu istrinya menelefon menanyakan keberadaannya di Purwakarta, ia meminta saya mengatakan ia menginap di rumah saya. Saya tak menanggapinya serius. Atau ogah.
Tiga bulan setelah itu, kontaknya di BBM hilang. Pun di Facebook. Saya cari, bahkan masuk ke mesin pencari paling populer pun, ia tak ada. Saya coba cari sang cinta masa lalu, juga tak ada. Satu tahun. Dua tahun. Hingga tahun 2015 ini. Empat bulan lalu, seorang rekan membawa kabar, ia sudah menikahi sang cinta masa lalu. Alhamdulillah. Hanya saya mencoba terus mereka-reka, mengapa ia menarik mundur dari saya? Saya menduga, ia mungkin merasa tak aman dengan saya yang nyaris selalu mengonfrotasinya soal itu.
Barangkali ia merasa saya tak setuju dengan gagasannya soal cinta masa lalu dan keluarganya—istri dan anak-anaknya.
Tapi saya tahu, suatu waktu kami akan bertemu kembali. Entah kapan. Waktu pasti akan membawa ia kembali pada saya, atau saya pada dia. Dan jika waktunya tiba, saya akan tetap membuka tangan saya padanya; saya ingin dia tahu bahwa apapun keputusannya, ia adalah karib saya, dan saya menghormatinya, walau saya mungkin belum sepenuhnya setuju. Cinta masa lalu itu urusan pribadinya, sebagaimana saya juga punya urusan pribadi yang mungkin tak disukai orang. Ia sudah mengambil keputusan berani sebagai seorang lelaki, karena ia sudah mampu.
Ah, karib, di hari ied ini, apa kabarmu? []