SEMASA Granada diperintah oleh Sultan Muhammad ibn Yusuf Abul Hajjaj, tersebutlah nama sang menteri sekaligus penulis dan penyair terkemuka di negerinya. Namanya Lisanuddin Muhammad al-Khatib. Ibn al-Khatib ini sosok yang berpengaruh. Karyanya mampu membuat hadirin yang mendengarkan pembacaan karyanya meneteskan airmata. Setidaknya ini yang disaksikan dan dirasakan langsung orang besar semasanya, Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun juga sosok penting yang pernah mewarnai Granada dalam babak hidupnya. Semasa Granada diperintah Sulatn Muhammad ibn Yusuf, Khaldun berkiprah di tanduk Afrika, Tunisia dan sekitarnya kini. Di Afrika Utara, namanya melambung dan sering dipersandingkan dengan kebesaran nama Ibn al-Khatib.
Kedua sosok ahli ilmu itu saling mengagumi. Baik dalam karya tulisnya ataukah korespondensi di antara mereka. Tapi sayang, kata Muhammad Abdullah Enan dalam Biografi Ibnu Khaldun (2013), keduanya harus terpisah akibat adanya kecemburuan dan persaingan.
Kita yang terpisah jauh dari jarak peradaban, waktu, dan tempat, akan menilai kritis konflik yang memisahkan kedua ahli ilmu itu. Amat disayangkan hanya karena ingin merapat pada kekuasaan, saling curiga mendera. Hanya saja, kita belum tentu bisa merasakan bagaimana menjadi pelaku, atau yang mendukung keduanya. Mengapa harus ada konflik yang remeh?
Sayangnya, kejadian itu, dan lebih luas di sekitar Andalusia, sering diwarnai pertikaian yang “remeh-temeh” sampai kemudian daulah ini bubar di tangan Muslimin sendiri—alih-alih menyalahkan pihak Kristiani Aragon atau Castille yang memang sudah mengincar kita lengah.
Sejatinya, bukan konfliknyalah yang mesti dituding, melainkan manusia yang menjalaninya. Adakah kita berani memberikan bukti bahwa konflik tiada dalam perjalanan dakwah saat dirintis Rasulullah? Berbeda dan menyimpan curiga dan prasangka itu lumrah adanya. Iri dan menuduh yang tidak-tidak itu juga biasa. Tinggal bagaimana manusia yang menggenggam rasa ini mengelolanya.
Konflik antar saudara seiman itu fakta sejarah yang ada dalam bentangan masa. Bukan semata soal kekuasaan dan materi, sebagaimana analisis banyak orientalis, namun juga keyakinan pihak yang berseteru pada hujjah syar’i. Tak memadai membicarakan soal Ali versus Aisyah semata soal klan dan kesumat masa silam keduanya bahkan semenjak Nabi masih ada—yakni dalam kasus fitnah terhadap Aisyah (haditsul ifk).
Jadi, seyogianya kita biasa saja dalam bersikap manakala ada konflik semacam itu. Ini bukan berarti kita menyetujui perpecahan; bukan begitu melihatnya. Konflik adalah ruang melapangkan pemikiran dan keadaban dalam berilmu. Sebanyak apa pun ilmu kita, kala konflik mendera itulah medan pembuktiannya. Konflik tak berarti ukhuwah harus berpecah. Dalam beda yang sangat tajam, tetap harus ada kejujuran menilai pihak seteru.
Konflik juga sebentuk “anugerah”, bila disaksamai jujur. Kita yang besar dalam tubuh harakah Islam acap membaca sirah dan tarikh dengan normatif; menihilkan konflik atau bahkan menolak kemungkinan konflik berlangsung pada orang-orang saleh. Dus, kita pun dibiasakan dalam habitat ilmu yang meletakkan konflik seperti barang haram. Padahal, dalam konflik ada kesempatan belajar dan melatihkan adab. Lihat bagaimana al-Bukhari dipaksa berkonflik dengan Imam an-Naisaburi, guru dan koleganya sesama ahlu hadits yang menyimpan ghil (iri) pada sang murid. Dan lihat bagaimana Muslim mengatasi perseteruan dua gurunya itu.
Jadi, bersikap wajar saja manakala menghadapi para tokoh umat berkonflik. Asal jaga adab, insya Allah konflik tak sampai meruntuhkan kerja dakwah. Siapa pun itu. Kita sendiri malu? Wajar, tapi tak perlu meniru, toh masih banyak sosok lain yang mampu mengelola konflik tanpa harus bergaduh di ruang publik. Tak ada saling seret pengikut dalam arus konflik hingga membesar. Tak pula melibatkan barisan penyetia dalam komentar tak adil pada lawan. Hal semacam ini berlaku pada kapan dan di mana pun. Orang-orang hebat saja berkonflik, apa lagi kita, kemungkinan terseret di dalamnya sebagai pelaku, amatlah mungkin. Tinggal bagaimana kita berpikir waras. Tak sampai memendam dendam apalagi memutuskan silaturahim.
Konflik berlarut sekalipun panas sangat, bila hanya melibatkan personal maka bangunan dakwah masih utuh. Tugas kita mempertemukan keduanya dalam proses mediasi yang adil dan beradab. Kalau tidak mampu menjadi penengah, setidaknya tidak menjadi bagian dari yang mengompori kelangsungan konflik tersebut. []