Oleh: Ramadani Ann Al-Qohirohiyyah
annbvl38@gmail.com
SIAPA yang sejak lahir sampai detik ini belum pernah berbuat dosa sekali pun? Jawabannya adalah tidak ada. Semua umat pernah melakukan dosa, mulai dari hal yang dianggap sepele seperti berbohong padahal termasuk dosa besar; sebanding dengan dosa durhaka pada orang tua atau bahkan membunuh. Sampai kepada dosa paling hina daripada berbuat zina, yaitu membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya atau bisa disebut dengan bergosip/menggunjingi seseorang.
Kalau sudah sadar dengan dosa-dosa yang kita perbuat, itu artinya Allah telah memberi nikmat sebab bisa mengenali dosa sendiri. Supaya dimaksudkan agar kembali ke jalan yang lurus, meminta ampun, dan berusaha menjadi hamba-hamba terpilih. Seseorang yang mampu berserah diri, sepenuhnya takut, dan istiqomah dalam menaati perintah-Nya, pun sebetulnya secara tidak langsung juga telah diembankan amanah atau tugas untuk mendakwahi sesama manusia. Agar seluruh ummat ini punya pikiran yang sama, yaitu mencapai hakikat iman dan islam, mengeluarkan kebesaran-kebesaran makhluk dari dalam hati, dan memasukkan kebesaran Allah ke dalam hati kita agar langkah, ibadah, serta muamalah hanyalah bertujuan untuk Allah, atas izin-Nya.
Mari kita simak kisah Umeir bin Wahab, jagoan kafir Quraisy, penentang paling teguh di awal kedatangan islam yang berbalik menjadi pembela islam paling gigih. Ketika terjadi perang Badar, ia adalah salah satu pemimpin yang menghunus pedangnya untuk menumpas islam. Atas izin Allah, peperangan pun telah dimenangkan pihak muslim.
Oleh karena itu, Umeir bin Wahab kesal dan menyimpan dendam kepada Rasulullah sallallahu alaihi wasallam, sampai berniat ingin membunuhnya. Tatkala bertemu dengan Shafwan bin Umayyah, lalu duduk bersama di atas sebuah batu dan berbincang-bincang tentang kekalahan telak dalam perang Badar, mereka pun membuat kesepakatan untuk membunuh nabi Muhammad s.a.w, Umeir ditugaskan pergi menemui Rasulullah untuk dibunuh, dengan imbalan semua hutang keluarganya akan ditebus oleh Shafwan bin Umayyah.
Saat itu, Umeir telah sampai di masjid nabawi (Madinah), dan mendapati Umar bin Khattab r.a berkumpul di sekitar masjid, lalu ia masuk dengan menyandang pedangnya, dan dicegah oleh Umar bin Khattab r.a karena ia tahu yang datang adalah musuh besar islam.
Setelah memberitahu, Rasul pun menyuruh Umeir masuk menemuinya, dengan siaga penuh, Umar r.a juga menyuruh sahabat yang lain untuk waspada memerhatikan keselamatan Rasulullah s.a.w, karena sangat khawatir.
Singkat cerita, Allah telah memberitahu Rasul-Nya tentang pembicaraan rahasia mereka berdua di atas batu, seketika itu juga Umeir yakin kalau Allah itu ada; Dia Maha Melihat. Atas izin Allah, Umeir pun mendapat hidayah, dan menjadi muslim.
Berkatalah Umar bin Khattab radiallahu anhu, “Demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya! Sesungguhnya aku lebih suka melihat babi daripada si Umeir sewaktu pertama kali muncul di hadapan kita …! Tetapi sekarang aku lebih suka kepadanya daripada sebagian anakku sendiri.”
Umeir duduk merenungkan dengan dalam, toleransi, kelapangan dada, serta sifat pemaaf dari agama islam ini, dan juga kebesaran Rasul-Nya. [Sumber: Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, karya Khalid Muh. Khalid, no: 24 Umeir bin Wahab]
Jadi, jangan pernah berputus asa dalam mencari rahmat-Nya. Allah menginginkan kita kembali menjadi baik, maka hidayah itu dijemput bukan ditunggu. Iman kadang bisa naik dan turun, tapi selagi nyawa masih ada di badan, sempatkanlah untuk memuji kebesaran-Nya walau dalam hati.
Bersyukur masih merasakan nikmat iman dan islam, serta bersabar atas hidayah yang tak kunjung diberikan pada orang-orang di sekitar kita. Karena hidayah itu turun sebanding dengan usaha orang itu sendiri untuk bertaubat, serta doa-doa orang yang telah terlebih dulu mendapat hidayah dari-Nya.
Dear mantan pendosa, ada surga yang menantimu! []
Balqis, 19 Mei 2016
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word