Oleh: Harri Ash Shiddiqie
Penulis, penyuka sastra, tinggal di Jember
ADAKAH malu? Tidak ada. Karena ditelan angin barat, angin timur, dan dikunyah siapa saja yang angin-anginan. Bukan hanya dengkul, bukan hanya paha, tapi juga jenjang leher sampai perut bisa dilihat siapa saja.
Malu? Tidak. Itu biasa.
Tapi di kota kecamatan tempat ia dilahirkan, kota kecil yang hanya ada satu jalan raya beraspal yang membelahnya, hampir semua orang memakai jilbab. Hampir semua perempuan tak kelihatan betisnya.
Mengapa di kota kecil masih ada rasa malu? Mungkin, agama masih terjaga. Sopan santun masih digenggam. Juga semua orang saling mengenal, tak enak bila jadi perbincangan. Malu.
Seberapa kuat malu ini bertahan?
Android, Youtube, Instagram menawarkan apa saja. Ketika gambar, video dan uraian kata-kata tentang keintiman mudah diakses, maka nilainya menjadi turun.
Pernikahan tidak lagi sakral, khidmat tentang pengorbanan. Berkorban untuk pasangannya, untuk keluarganya, dan berkorban sebagai kewajiban meneguhi perintahNya.
Pernikahan yang hanya bersemangatkan transaksi dan pengumuman. Pengumuman yang diusahakan mewah, undangan disebar berhias gambar mesra, intim, tanpa malu.
Transaksi?
Sikap individualis dengan dorongan kebebasan membuat setiap orang berusaha memiliki eksistensi. Setiap orang berusaha memberi makna kehidupannya sesuai dengan persepsinya apa yang dianggap baik olehnya. Ini membuat setiap orang harus kuat. Harus dapat hidup mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Pernikahan bukan lagi pengorbanan untuk pasangannya, saling berjuang memberikan yang terbaik untuk keluarga. Pernikahan hanya sekedar hubungan. Punya tempat berkomunikasi, hubungan tubuh pelepas hasrat, sebagai teman, menghilangkan kesendirian, penawar kesepian. Anak? Ah, nanti dulu, diprogram sekian tahun mendatang.
Dalam pernikahan masa kini setiap pribadi tetap bereksistensi. Bahkan pernikahan direncanakan untuk membantu pertumbuhan dan kebutuhan eksistensi diri. Seorang perempuan tetap bekerja, tetap berkarya. Seorang lelaki tetap bisa jauh di sana menggeluti profesinya.
Eksistensi bisa tabrakan. Sang istri gemar menjadi bintang sinetron, tetapi sang suami ingin rumah damai di luar kota dengan istri yang tersenyum di pintu menyambut kedatangannya. Ini tidak bisa.
Bukankah sudah disepakati, ada transaksi: “Bebas menikah dan bebas pula untuk bercerai”.
Pernikahan bisa singkat. Kalaupun tidak singkat, silakan eksistensi masing-masing tetap tumbuh.
Rumah tangga hanya “hubungan”. Kesenangan yang intim bisa dikayuh di tempat yang lain, dengan orang lain. Aman, kontrasepsi banyak tersedia. Bisa diraih sesat, ditawarkan di mana saja. Murah karena saling membutuhkan. Mudah, menggerakkan ujung jari di android, semua tersedia dalam hitungan detik.
Malu? Tidak. Itu biasa.
Di kota kecilnya, di depan pintu rumah panggung kayu di dusunnya, di antara garis angin sederhana, ia bisa mengingat di surat Al Qashash ayat 21-29. Yang di antaranya menceritakan seorang perempuan yang disuruh ayahnya agar menemui seorang lelaki. Ia memenuhi perintah itu, dan berjalan malu-malu.
Oh, sebuah narasi keindahan.
Diingatnya juga sebuah tulisan, memicu kerinduan langit pernikahan yang indah. Yang lelakinya seorang perjaka, di dadanya berkilau rasa siap bertanggung jawab memenuhi kehidupan keluarga. Dan gadisnya, perawan yang malu-malu duduk di pelaminan, dalam kesucian. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.