SIAPA berani menerima tantangan? Kali ini bukan melawan ketakutan (Fear Factor) karena melakukan perbuatan mengerikan atau menjijikkan. Bukan pula menebak kuis gampang-gampang susah tapi berhadiah jutaan rupiah, atau melakukan pekerjaan naif yang ternyata memiliki arti kemanusiaan amat besar.
Tes uji ini akan menentukan kepribadian kita, tidak hanya nyali semata. Bagi Anda yang punya anak atau adik di Sekolah Dasar (SD), coba tanya: “Beranikah engkau pindah sekolah di sebuah desa terpencil, tinggal bersama kakek dan nenek di kaki gunung Merapi (Jawa Tengah) atau di pinggir hutan lebat Leuser (Aceh)?”.
Lalu, kepada anak Anda lainnya yang duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), coba tanyakan pula: “Kalau kamu, siapkah kamu berjualan pisang goreng dan bolu kukus bikinan Ummi di sekolah? Sebagian keuntungannya nanti menjadi bagian kamu untuk membeli buku cerita, sepatu, atau kamu masukkan tabungan.”
Apapun jawaban anak Anda di SD dan SMP, tak boleh asbun (asal bunyi), “Saya berani, saya siap, gue sanggup!” Sebab, jawaban itu dan praktiknya dalam kehidupan nyata sangat menentukan kualitas kepribadian masing-masing. Dari jawaban dan kesanggupan itu, kamu dapat membayangkan, siapakah di antara kalian bertiga yang akan menjadi: ORANG BESAR (great person) yang akan menentukan sejarah dunia.
Supaya komplit, kepada anak Anda kamu yang sedang kuliah di Perguruan Tinggi (PT) seharusnya juga ditanyakan: “Kapan kakak bertekad menyelesaikan studi dan kemudian menikah? Apa siap, jika memasuki suasana hidup baru pada usia paling telat 25 tahun?” Dengan catatan, pada batas itu normalnya kuliah jenjang sarjana sudah kelar, dan bisa cari pekerjaan layak.
Lihat reaksinya, apa anak Anda terlihat ngeper, lalu berdalih sambil melengos: “Mau apa sih tanya-tanya soal itu?” Lho, kalau sudah merasa jadi anak besar, jawab dong, dan buktikan. Jadikan jawaban lisan mereka sebagai penegasan saja dari tindakan yang sudah mereka ambil. “My answer is just BOTTOM LINE of action”.
Sebenarnya tanpa ditanya orang lain, kita sendiri perlu menuliskan pertanyaan dan jawaban masing-masing sejak sekarang. Itulah makna dari perencanaan hidup (life planning) yang berkualitas. Kita bisa belajar dari garis hidup orang-orang besar demi mengukir dan mencapai “kebesaran dan keunggulan” kita sendiri. Misalnya, sejarah sang pemikir (Al Farabi atau Ibnu Khaldun yang merumuskan dasar ilmu politik dan sosiologi), sang petualang (Ibnu Bathutah dan Al Idrisi yang menulis manuskrip bangsa-bangsa dan merancang peta dunia), sang penemu (Al Khwarizmi yang memperkenalkan angka nol), atau sang penakluk (Umar bin Khathab dan Shalahuddin al Ayyubi yang pernah membebaskan tanah Palestina).
Atau, bisa juga belajar dari sejarah orang biasa (ordinary people), semisal Nasruddin Hoja (sufi dari Turki) dan Abu Nuwas (penyair satiris dari negeri “1001 malam” Irak). Petuah dan hikmah yang mereka wariskan menjadi cermin kearifan dan kebersahajaan. “Kebesaran dan kemuliaan” ternyata tidak ditentukan banyaknya harta atau tingginya kedudukan, melainkan kecerdikan dan kebijakan dalam menjawab teka-teki hidup yang penuh misteri.
Pertanyaan yang diajukan kepada Anda serta anak-anak, atau adik-adik Anda tadi adalah garis hidup (milestone) yang telah dilalui seorang MANUSIA BESAR bernama Muhammad Saw. Dia dilahirkan dalam keadaan yatim, karena ayahnya (Abdullah) meninggal, saat Muhammad dalam kandungan ibunya, Aminah. Lalu, pada saat Muhammad menjelang usia SD, ibunya juga pergi ke rahmatullah. Sehingga, dia diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Bahkan, Muhammad sempat dititipkan kepada pengasuh, Halimah as Sa’diyah, di dusun Arab pedalaman (Badui).
Pada usia SMP, Muhammad dididik berwirausaha oleh pamannya, Abu Thalib, hingga berdagang ke negeri Syam (Suriah). Pada usia SMA, Muhammad telah mengelola usaha dagangnya sendiri, bekerjasama dengan beragam pengusaha besar. Pada usia PT, Muhammad dinobatkan sebagai pemuda yang paling dapat dipercaya. Ia menyabet gelar “Al Amin” lewat berbagai momen ujian dan audisi sosial-politik, salah satunya peletakan kembali Hajar Aswad (batu hitam) di sisi Ka’bah.
Pada usia 25 tahun, Muhammad melamar Khadijah binti Khuwailid, seorang konglomerat perempuan di zaman itu. Lima belas tahun setelah pernikahannya, Muhammad Saw dilantik sebagai Nabi yang terakhir (Khatam an Nabiyin) oleh Sang Mahapenyusun skenario kehidupan. Muhammad telah melampaui fear factor paling asasi: siapkah kita menjadi hamba Allah yang paling bertaqwa demi mencapai maqaman mahmudan (kedudukan mulia)? Soal ini hanya mungkin dijawab orang besar. []