Oleh: Fadh Ahmad Arifan
Penulis adalah Pengajar Fikih di MA Muhammadiyah 2 Malang
ADE Irma Salekah pada 9 Februari 2018 berhasil menjalani ujian terbuka di Pascasarjana Unmuh Malang. Judul disertasinya, “Makna pernikahan usia dini: Studi di Banyuates, kabupaten Sampang, Madura”. Selain di pulau Madura, fenomena pernikahan usia dini bisa dijumpai di daerah tapal kuda. Pasuruan, kabupaten Probolinggo hingga Bondowoso.
Sampang, Probolinggo dan Bondowoso dinobatkan sebagai 3 wilayah penyumbang angka tertinggi pernikahan usia dini di provinsi Jawa timur. Di luar negeri, fenomena ini bisa ditemukan di India, Afghanistan, Pakistan dan Muslim Rohingya. Pemicu pernikahan usia dini di Banyuates, Kabupaten Sampang berbeda dengan yang terjadi di kalangan Muslim Rohingya.
Mengutip Liputan6.com, 27 Desember 2017, Muslim Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh dari Myanmar menikahkan putri-putri mereka lebih awal untuk meringankan beban rumah tangga. Sejumlah anak perempuan berusia sekitar 12 tahunan dinikahkan sehingga tanggungan orangtua berkurang.
Kembali ke Disertasi Ade Irma Salekah, disertasinya menggunakan pendekatan Etnografi. Prof. Dr Syamsul Arifin (promotor) memberi masukan perihal istilah “usia dini” yang digunakan dalam judul disertasi. Usia dini 0-6 tahun makanya ada pendidikan PAUD. Apa tidak sebaiknya diperbaiki dengan istilah “menikahkan anak”. Ade Irma Salekah menjelaskan bahwa yang dimaksud usia dini adalah umur dibawah yang diatur Undang-undang perkawinan tahun 1974.
Temuan dalam disertasi beliau adalah pemicu atau penyebab pernikahan usia dini di Banyuates, Kabupaten Sampang karena faktor tradisi (perjodohan), faktor agama (berbakti ke orang tua) dan pendidikan yang rendah. Faktor Perjodohan untuk nikah usia dini selalu meminta persetujuan pemuka agama (kyai). Selain itu yang unik dari disertasi Ade Irma Salekah bahwa pelaku pernikahan usia dini merasa senang dan enjoy karena “sudah laku” dan “terbebas dari beban sekolah”.
“Seringkali nikah dini dikaitkan dengan problem kesehatan reproduksi. Padahal dari penelitian saya, peoblem kesehatan reproduksi muncul akibat seks Pra nikah,” kometar salah satu penguji, Dr. Rinikso Kartono M.Si.
Nikah usia dini yang terjadi turun temurun di Kabupaten Sampang ini jelas berlawanan dengan regulasi Undang-Undang perkawinan milik Pemerintah. Kesannya masyarakat hidup dengan kearifannya sendiri dan disisi lain negara dengan legal formalnya. Cara menyadarkan mereka bukan dengan penyuluhan dan sekedar sosialisasi di kelurahan dan Kantor Urusan Agama (KUA). Tetapi pemuka agama atau kyai bisa membuat peraturan tidak tertulis seperti di pesantren Iqra’ Probolinggo.
Pengasuh pesantren ini melarang santrinya yang mukim menikah pada usia dini. Kiai Syifa’ Jakfar menekankan peraturan ini kepada wali santri di awal mereka menitipkan anaknya. “Ketika menitipkan anaknya, saya sampaikan kalau mondok di tempat ini harus tuntas belajar 12 tahun. Bukan belajar 9 tahun seperti yang digalakkan pemerintah. Kalau orang tuanya tidak sanggup, dipersilahkan untuk menitipkan anaknya di pesantren lain,” kata Kiai Syifa’ dikutip NU Online 27 Oktober 2014.
Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Kota Kraksaan ini menerapkan kebijakan tersebut di lingkungan masyarakat. Kiai Syifa’ memilih untuk tidak menghadiri undangan pernikahan yang pengantinnya belum cukup umur. Hal itu bertujuan memberikan pengertian kepada orang tua, bahwa menikahkan anak di usia dini sama artinya dengan merampas hak-hak mereka seperti hak belajar dan hak untuk tumbuh kembang. Wallahu’allam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.