Oleh: Eneng Susanti
(warganet)
BOLA mataku terpaku pada lembar soal UAS yang baru saja dibagikan. ‘Duh…’ Aku sampai habis pikir kenapa nasibku dan teman-teman sekelas bisa sesial ini. Mata kuliah terakhir. HADIS.
Beberapa menit yang lalu UAS mata kuliah tersebut diprediksi tidak akan seseram ini. Pertama, karena kami mengenal tipikal dosen yang mengampu mata kuliah ini. Kedua, saat diujikan di kelas sebelah, pengawasan cukup longgar. Yang ketiga, ini yang paling membuat kami optimis dan lumayan antusias, kami dapat bocoran soal dari kelas sebelah. Tidak tanggung-tanggung, bocorannya sangat otentik karena berupa lembar soal asli.
Dalam waktu beberapa menit saat jeda pergantian mata kuliah, kami sekelas berupaya sekuat tenaga mengerahkan segenap kemampuan jiwa dan raga, segenap kuota pikiran dan kuota internet untuk mencari jawaban soal yang sebagian besar didominasi huruf arab tersebut.
Kekhawatiran terbesar kami saat itu hanya satu. Tentang pengawas ruangan yang disinyalir mungkin akan diisi oleh dosen prodi ‘sebelah’. Dosen baru yang agak-agak ‘horor’ gitu. Kami agak ‘kurang nyaman’ dengan sikap dan style mengajarnya yang super tegas dan kaku. Agak bertentangan dengan gaya ‘free style’ kami dalam belajar. Persoalannya, dosen ‘ajaib’ ini kerap kali menggantikan dosen matkul Hadis di kelas kami. Sedari tadi dia malah sudah terlihat wara-wiri di koridor. Ini pertanda kurang baik. Bisa cilaka dua belas kami kalau dia yang jadi pengawas UAS kami.
Namun, berbekal kertas soal dari kelas sebelah, kami pun pantang menyerah. Aku yang antinyontek sekalipun, untuk matkul yang satu ini justru turut serta dalam upaya pencarian jawaban. Sambil celingak-celinguk ke pintu dan jendela, aku komat-kamit menghafal terjemahan hadis yang disarikan mbah google via hape cerdas milik temanku.
“kali ini mah aku ga jadi malaikat dulu deh” celotehku sambil nyengir ditengah ‘sidang isbat’ UAS Hadis kali ini.
Namun, kalimat di atas yang baru beberapa menit lalu kuucapkan seolah dipentalkan oleh tuhan melalui lembar soal yang sekarang kupegang.
‘Duh…’ tidak ada satu nomer pun pertanyaan yang sama dengan lembar soal kelas sebelah yang jawabannya tadi telah kuhafal mati-matian dalam hitungan detik. Apalagi, pengawasnya dosen ‘ajaib’ itu. Sungguh mimpi buruk yang jadi nyata.
Detik-detik berlalu, aku masih terkesima dengan soal-soal di depan mata. Tidak disangka kami yang mengira sudah ma’rifat dengan dosen Hadis yang biasanya cuek itu bisa mendapat kejutan se-surprize ini darinya.
‘Duh…’
Alih-alih mengisi soal, aku malah berfikir tentang fenomena yang terjadi pada UAS matkul terakhir ini.
“Kenapa pengawasnya harus dosen ‘hampir’ killer itu?”
“Kenapa tiba-tiba dosen asli kami berubah sikap?”
“Kenapa jumlah soal untuk kami lebih banyak daripada kelas sebelah?”
“Kenapa seluruh soalnya dibedakan?”
Dan, yang paling menyebalkan, “kenapa tidak boleh pakai kamus untuk menerjemahkan bahasa arabnya?”
‘Duh…’
Alih-alih merana, diam-doiam aku malah tertawa. Lebih tepatnya tersenyum bahagia. Mungkin hanya aku seorang mahasiswa PAI yang tidak bisa bahasa Arab tapi mendadak sangat bahagia mendapat soal berupa hadis ‘asing’ dalam bahasa yang juga asing. Bukan, karena merasa mampu mengisi jawaban dengan benar. Sebaliknya, aku justru tidak tahu apa yang harus dituliskan. Tapi yang jelas kegembiraan itu datang menghampiri begitu saja, karena dari lembar soal yang tidak dimengerti itu, aku jadi memahami sesuatu.
Allah sedang dan selalu menjagaku. Menjagaku tetap ‘menjadi malaikat’. Dia sepertinya tidak mengijinkanku ‘main belakang’. Itulah, kenapa soal ditanganku memerlukan jawaban yang berbeda dengan apa yang sudah aku hafal beberapa menit sebelumnya dengan cara curang. Karena itu suatu ‘ketidakbenaran’. Dan, Allah yang Maha Mengetahui tidak akan membiarkan hal seperti itu terjadi.
Ujian ini bukan semata tentang jawaban soal di atas kertas, tapi ini juga tentang ujian kita sebagai manusia yang mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Ujian ini bukan hanya tentang benar-salah sebuah jawaban, tapi juga sebagai pertanyaan atas kejujuran maupun ketidakjujuran kita. Karena semua itu pasti harus dipertanggungjawabkan. (Pwk, 7 Juni 2015). []