DIA baru saja melepaskan helm full face yang dikenakannya saat penjaga sekolah tergopoh-gopoh datang mendekatinya. Dengan sedikit senyuman yang dibalas oleh penjaga tua itu, dia seakan bertanya ada apa gergerangan
“Maaf, pak kepala. Ada surat yang tadi dititipkan pada saya,” kata penjaga tua itu sembari menyerahkan sepucuk surat tanpa amplop.
Dia menerima surat itu dengan perasaan heran. Tidak biasanya ada surat diberikan padanya lewat penjaga sekolah. Dan ini pertama kalinya dia menerima surat yang terkesan tak sopan.
Tanpa bisa menahan rasa penasaran, dia dengan cepat membuka lipatan surat itu setelah pak tua pembawa surat itu menjauh, dan membacanya kata demi kata yang tertulis sedikit berantakan meski bel sekolah telah berdentang.
Assalamualaikum pak kepala sekolah. Mohon maaf sebelumnya karena saya gak pernah nulis surat seumur hidup sehingga saya gak tahu tata caranya. Maklum pak, saya cuman sekolah sampe kelas 3 SD. Anak saya namanya Yayan. Dia anak kelas tiga SMA yang mau ebtanas. Jadi dia itu katanya belajar sampai lewat asar. Trus pulangnya katanya capek, langsung tidur sampai maghrib, lalu ngerjain PR. Begitu terus hampir tiap hari kecuali jumat dan minggu, Pak.
Begini pak, saya khawatir tentang anak saya. Dia kayaknya gak punya cita cita. Masa setiap hari dia ngeluh takut nilainya jelek, takut gak ngerjain tugas, dan takut nanya-nanya sama guru, Pak. Sampai dia lupa kepandaiannya waktu dia SMP dulu.
Boleh saya cerita ya, Pak. Yayan itu dulu waktu kelas 5 SD bisa bikin kandang burung pake alat sama bahan sisa kayu di belakang rumah.
Pas SMP lebih hebat lagi pak, dia bikin rumah mirip rumah kami tapi ukurannya lebih kecil. Sejak itu saya yakin dia bisa jadi arsitek nanti pas gede.
Selan itu pak, dia itu dulu suka main ke bukit-bukit kalau hari minggu sama teman-temannya. Juga gampang dekat sama banyak orang. Sampai-sampai semua anak di kampung sebelah kenal sama dia pak. Saya jadi sangat bangga dan yakin dia akan punya masa depan yang jauh melampaui saya.
Tapi kemarin pas saya nanya dia mau ngambil apa buat kuliah nanti, katanya dia gak tau, Pak. Dia bahkan mau nanya guru bk dulu, trus mau cocokin nilai dulu. Katanya lagi, yang penting saya nanti kuliah.
Saya takut sekali, Pak kepala sekolah. Saya melihat anak saya gak sempat lagi khatam qu’ran tiap tahunnya, gak sempat lagi main sama teman-temannya, gak sempat lagi bercanda gurau sama adiknya yang masih TK, bahkan sama ibunya sendiri dia jadi pendiam.
Jadi, saya mohon maaf Pak. Tolong izinkan anak saya bolos sekolah sorenya. Agar dia dia punya waktu yang lebih dan bisa kembali ke dirinya yang ingin menjadi arsitek, trus agar dia menjadi anak yang mampu dapat ilmu dari alam, juga biar dia bisa belajar tentang masyarakat juga, Pak.
Bapak gak usah khawatir nanti merasa dia menjadi anak yang gagal. Karena kalau dia gagal, sayalah yang akan bertanggung jawab. Saya bahkan merasa sangat berterima kasih sama bapak karena bapak mau mengambil sedikit tanggung jawab saya.
Terima kasih banyak pak kepala sekolah. maaf jika saya gak sopan nulisnya.
Dia melipat kembali surat itu dengan segala macam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Untuk sejenak, dia terkenang masa kecilnya yang dipenuhi oleh ilmu etika yang kuat. Dia terkenang masa kecilnya dimana dia mengerti bahwa kejujuran dan menghormati adalah sesuatu yang sangat mahal harganya. Dia terkenang masa kecilnya dimana dia dan sahabat-sahabatnya terikat dalam ikatan yang indah tanpa sibuk dengan gadget.
Dan dia teringat masa kecilnya, masa dimana saat itu dia pura-pura menjadi guru mengajari kedua orang tuanya yang berpura-pura menjadi murid. Sejenak dia tersenyum bercampur sedih mengingat bahwa kenangan itulah yang membawanya menjadi dirinya yang sekarang, menjadi seorang kepala sekolah. []