Oleh: Erna Ummu Azizah
Komunitas Peduli Generasi dan Umat
BARU-baru ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan penemuan makanan mengandung cacing. Hal itu bermula dari viralnya foto dan video unggahan warga yang menunjukkan adanya cacing dalam produk ikan kaleng jenis makarel.
Dari hasil pengujian terhadap 541 sampel ikan dalam kemasan kaleng yang terdiri atas 66 merek yang beredar di seluruh Indonesia, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM Penny Lukito mengumumkan ada 27 merek, yang terdiri atas 138 bets ikan makarel kalengan, positif mengandung parasit cacing. “Sebanyak 16 merek di antaranya merupakan impor dan 11 lainnya merupakan produk lokal.” (Tempo.co, 29/03/2018)
Untuk kesekian kalinya terjadi kasus makanan tak layak konsumsi. Setelah sebelumnya ada kasus susu formula yang mengandung bakteri, beras plastik, dan sebagainya. Tentu ini sangat meresahkan masyarakat. Berulangnya kasus tersebut menandakan bahwa pemerintah belum serius dalam menyelesaikan masalah peredaran makanan di dalam negeri. Di sisi lain pemerintah pun nampaknya masih tergiur dengan makanan-makanan impor dengan ketidakjelasan proses produksi dan produk hasilnya apakah sudah halal dan ‘thoyyib’.
Padahal sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, semestinya pemerintah Indonesia wajib menjamin setiap produk yang beredar. Memastikan tidak hanya kelayakannya, tapi yang tak kalah penting adalah kehalalalan dan kethoyyibanya juga.
Karena bagi seorang muslim permasalahan makanan tidak boleh sembarangan, karena makanan yang masuk ke tubuhnya akan menjadi bekal, sekaligus penyemangat untuk beramal sholih. Sebagaimana Firman Allah:
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang sholih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholatu wassalam untuk memakan makanan yang halal dan beramal sholih. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah pembangkit amal sholih.
Bila selama ini kita merasa malas dan berat untuk beramal. Alangkah baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman yang masuk ke perut kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya yang baik tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Aturannya begitu indah dan sesuai fitrah manusia. Semua hal ada tuntunannya di dalam Islam, baik itu masalah akidah, akhlak, muamalah, juga masalah pakaian dan makanan.
Terkait makanan, setiap muslim diperintahkan Allah untuk memperhatikan apa-apa yang dimakannya. Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Dari ayat tersebut, sangat jelas disebutkan oleh Allah bahwa syarat makanan yang boleh dimakan oleh seorang muslim adalah “halalan thoyyiban”, yaitu yang halal dan baik.
Sayangnya, prinsip ekonomi kapitalis dengan slogan “modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya” masih diemban oleh negeri ini. Wajar jika lahir manusia-manusia serakah, termasuk para produsen nakal, yang cenderung mengutamakan keuntungan tanpa peduli halal-haram maupun manfaat-mudharat.
Semoga kejadian ini bisa menjadi renungan bagi para pemegang kebijakan, karena di tangan merekalah ada amanah untuk meriayah (mengatur) urusan umat, yang pertanggungjawabannya berat, dunia akhirat. Sehingga tak ada lagi cerita ‘halalan thoyyiban’ diabaikan. Semoga umat pun lebih berhati-hati, dan tentunya semakin semangat untuk kembali kepada aturan Islam. Wallahu a’lam bish-showab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.