UMAR bin Khattab beringsut dari tempat tafakurnya. Ia menarik napas sejenak. Di luar tampaknya tak ada lagi orang-orang yang berkeliaran. Walaupun belum terlalu larut, tapi sepertinya orang-orang lebih senang untuk berdiam diri di rumah, beristirahat melepas lelah.
Malam itu begitu gelap. Tak ada bintang atau bulan di langit. Hanya menyisakan sunyi. Perlahan Umar meninggalkan peraduannya, membuka pintu. Ia merasa perlu yakin bahwa istri dan anak-anaknya telah juga terlelap. Setelah dipastikan, akhirnya ia perlahan-lahan meninggalkan rumahnya.
Dalam gelap, Umar menyusuri jalan setapak. Ia menuju sebuah rumah. Tak ada yang menemaninya. Sesekali ia melirik-lirikkan matanya ke segala arah. Khawatir ada orang yang memergokinya. Umar tidak tahu bahwa di belakangnya, tidak jauh Thalhah bin Ubaidillah tengah mengintainya.
Selama ini, Thalhah merasa penasaran apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin. Keluar malam-malam pekat begitu. Sendirian tanpa ditemani siapapun.
Rumah yang dikunjungi Umar sederhana saja. Thalhah harus menunggu lama sekali untuk menunggu Umar keluar. Ketika Umar keluar, Thalhah menunggu. Ia sepertinya sudah hapal benar, bahwa setelah dari rumah itu, Umar bin Khattab tidak akan langsung pulang. Ia akan segera menyambangi, masuk ke rumah-rumah yang lain. Entah berapa rumah, Thalhah tidak bisa menghitungnya. Yang pasti, Umar menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk menyambangi rumah-rumah itu.
Akhirnya, setelah malam semakin larut, Thalhah baru bisa menarik nafas lega. Umar pulang ke rumahnya. Masih sendirian. Setelah itu barulah Thalhah juga istirahat. Tapi dalam kepalanya masih terbayang rasa ingin tahu yang terus menggelitik. Rasa penasaran yang semakin besar. Apa gerangan yang dilakukan oleh Amirul Mukminin di rumah-rumah itu? Sampai begitu lama? Dan itu dilakukan hampir tiap malam.
Thalhah tahu bahwa selain ia, tidak ada lagi orang yang tahu tentang aktivitas Umar bin Khattab malam-malam itu. Umar tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun. Bahkan Thalhah yakin anak dan istri Umar bin Khattab sendiri pun tidak akan pernah tahu. Apalagi sahabat-sahabat yang lain.
Keesokan harinya, mulai pagi hingga petang, Umar akan kembali melakukan kegiatan-kegiatannya seperti hari-hari biasanya. Mengurus umat dan mencari penghidupan untuk keluarganya. Tidak tersirat ia telah menyisihkan sekian waktu malamnya untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah tersebut.
Ketika sampai di rumah pertama yang semalam dikunjungi Umar, alangkah terkejutnya Thalhah. Terkejut bukan buatan. Di rumah sederhana itu ia menemui seorang lelaki yang sudah tua. Kedua matanya buta. Ia terlihat sangat lemah. Hati-hati Thalhah menghampirinya.
Thalhah pun bertanya kepada lelaki tua itu, “Hai pak tua, tahukah kau siapa gerangan yang suka mengunjungimu pada malam-malam hari?”
Lelaki tua buta itu tersenyum sedikit. Ia menarik nafas, “Ya…Dia adalah Umar bin Khattab. “
Thalhah terdiam sejenak. Sejurus, ia kemudian bertanya lagi, “Jika aku boleh tahu, apa yang ia lakukan di rumahmu ini semalam?”
Kali ini, lelaki tua itu terdiam.
Thalhah menunggu.
Akhirnya, Thalhah mendengar lelaki itu berbicara, “Sesungguhnya,” ujarnya, “Umar sangat baik kepada kami. Dia datang ke rumah ini, dan rumah-rumah lainnya, hanya untuk menghibur kami. Ia memberikan kami semangat dan perhatian. Dan itu sudah cukup menyembuhkan penderitaan kami.”
Thalhah terdiam. Ia tidak menyangka bahwa yang dilakukan oleh Umar sedemikian dalam dan jauh. Umar yang dikenal keras ternyata hatinya begitu lembut. Begitu perhatian kepada umat. Ia telah menjadi seseorang yang selalu mendahului siapapun dalam beramal. Ketika orang lain tidak mau peduli kepada nasib-nasib orang tua, Umar justru menjadi orang pertama yang memperhatikan nasib mereka. Umar bin Khattab menyisihkan waktunya untuk menghibur mereka.
Di depan sahabat-sahabatnya, Umar selalu mengatakan bahwa ia tidak pernah bisa melampui amalan baik yang dilakukan Abu Bakar, sahabatnya. Di depan khalayak, Umar juga selalu menasihati agar mendahulukan kepentingan umat diatas kepentingan pribadi.
Di depan sahabat, Umar selalu bertausiyah untuk segera melakukan kebaikan karena umur manusia siapa yang tahu. Tapi, Thalhah tidak pernah menyangka bahwa Umar bin Khattab melakukannya jauh sebelum apa yang dikatakannya. []