Oleh : R. Marfu Muhyiddin Ilyas, MA
“SEBENARNYA, pelajaran agama di sekolah itu cukup satu mata pelajaran saja yaitu, Sirah Nabi.” Demikian statement seorang guru besar pendidikan Islam yang masih terekam dalam ingatan penulis saat dulu menempuh pendidikan pasca sarjana. Tentu statement sang profesor menuai kontroversi dari sejumlah teman yang mengikuti perkuliahan. Bagaimana dengan pelajaran tauhid, fiqih, akhlak dan yang lainnya?
Statement kontroversial di atas sebenarnya bukan dalam konteks pengabaian atau penolakan terhadap mata pelajaran lain dalam mengkaji ilmu-ilmu keislaman. Sebaliknya, statement itu justru tentang pentingnya mempelajari sejarah Nabi Muhammad SAW.
Sejarah Nabi SAW atau lebih dikenal sirah nabawiyah sejatinya memang merangkum keseluruhan ajaran Islam, sebab diri Nabi adalah manifestasi atau perwujudan dari Islam itu sendiri. Jadi dengan mempelajari sejarah Nabi, sejatinya kita sedang memelajari Islam.
Ini pulalah argumen pertama yang dibangun Muhamad bin Muhamad Al-Awaji ketika memaparkan urgensi mengkaji sejarah hidup Muhammad saw. Dalam Ahamiyyah Dirasah As-Sirah An-Nabawiyah wa Al-Inayah biha fi Hayaat Al-Muslimin, Al-Awajy menegaskan bahwa Sirah Nabawiyyah adalah sumber yang mutlak dikaji oleh siapa pun yang ingin menguasai ilmu-ilmu syariat.
Mempelajari sejarah Nabi Muhammad SAW juga menjadi sangat penting dalam membangun pondasi keimanan yang kokoh. Dari kajian terhadap sejarah hidup dan perjalanan dakwah Nabi Muhammad SAW setiap muslim akan mengetahui bahwa aspek akidah dan tauihid adalah prioritas pertama dari dakwah Nabi SAW.
Tentu saja dakwah Nabi bukan hanya urusan tauhid, tetapi tauhid menjadi pilar semua elemen kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Nabi SAW. Dari sudut pandang ini, dapat disimpulkan bahwa mempelajari sejarah hidup Nabi SAW adalah salah satu cara yang efektif untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan dan komitmen keislaman.
Selain karena menunjang penguasaan terhadap ilmu-ilmu keislaman dan penguatan keimanan, mempelajari sejarah Nabi SAW juga penting sebab berkaitan dengan bagaimana seseorang menyampaikan dan mengajarkan Islam kepada orang lain. Perjalanan hidup Nabi SAW adalah gambar paling akurat dan rujukan paling tepat bagaimana Islam diajarkan dan disebarluaskan.
Bagi para da’i, mubaligh, penceramah, dan guru, aspek ini menjadi sangat penting. Mempelajari sejarah hidup Nabi SAW akan memberikan banyak pelajaran, bimbingan, dan inspirasi tentang cara mengemas Islam agar tidak sekadar bisa disampaikan, tetapi juga efektif menghasilkan perubahan.
Selain alasan-alasan keagamaan, menurut Al-Awajy ada tiga dimensi lainnya yang berkaitan erat dengan Sirah Nabawiyyah, yaitu: dimensi sosial, ekonomi, dan militer. Pada dimensi sosial ada tiga aspek yang sangat penting dikaji, yaitu cara interaksi Nabi SAW dengan individu dan masyarakat yang berbeda agama. Ini menjadi sangat penting, terlebih di zaman global dan multikultural di mana pergaulan dengan orang-orang yang berbeda agama tidak bisa dihindarkan.
Nabi SAW dalah teladan paling tepat tentang prinsip interaksi masyarakat multikultural. Menurut Al-Awajy, kehidupan Nabi SAW sarat dengan fenomena budi pekerti luhur dalam beinteraksi dengan non muslim. Kelembutan dan kesabaran dalam menerima perlakuan buruk orang-orang non-Muslim menjadi teladan perilaku dari Nabi. Namun Nabi SAW pun tak segan bersikap tegas kepada mereka manakala kehormatan dan keagungan Islam dihinakan.
Lalu bagaimana dengan cara efektif mempelajari Sirah Nabawiyah itu?
Wahid bin Abdus Salam Bali menawarkan 4 fase dalam mempelajari sejarah kehidupan Nabi SAW. Fase pertama adalah Ta’sis, yaitu pembentukan dasar dan prinsip dalam mengenal Nabi SAW. Pada fase ini, setiap peristiwa penting dalam kehidupan Nabi SAW harus diingat dengan baik dengan berurutan secara kronologis. Kitab-kitab rangkuman atau khulashah cocok dijadikan referensi untuk mencapai target di fase ini.
Fase kedua adalah Tashwir, yaitu pemahaman secara mendalam terhadapa setiap peristiwa dalam kehidupan Nabi. Kajian sejarah kehidupan Nabi SAW terfokus pada satu referensi utama yang membahas fase-fase kehidupan Nabi secara kronologis-historis dengan informasi yang cukup lengkap. Kitab Ar-Rahiiq Al-Makhtum yang ditulis oleh Al-Mubarakfury adalah salah satu referensi yang cocok untuk fase ini.
Fase ketiga oleh Wahid Abdus Salam Bali disebut dengan Tahlil. Pada fase ini, seorang muslim bukan hanya mengenal peristiwa dalam sejarah kehidupan Nabi SAW, tetapi juga melakukan analisis terhadap peristiwa tersebut untuk menemukan nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan kehidupan sekarang. Pada fase inilah mempelajari sirah nabawiyah efektif mewariskan karakter. Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qayyim adalah contoh referensi yang sesuai untuk fase ini.
Pada puncaknya, mempelajari Sirah Nabawiyah harus sampai pada fase Takhshish. Fase ini dilakukan dengan melakukan studi yang komprehensif terhadap setiap peristiwa dalam sejarah hidup Nabi SAW. Studi dilakukan dengan mengkaji satu peristiwa secara cross reference yang melibatkan berbagai referensi primer kitab-kitab yang membahas kehidupan Nabi SAW. Perihal kelahiran Nabi SAW misalnya, dikaji secara komprehensif dan mendalam melalui Sirah Ibn Hisyam, Tarikh At-Thabary, Ath-Thabaqat Al-Kubra karyaIbn Sa’ad, dan Al-Bidayah wa An-Nihayah karya Ibn Katsir. []