TIDAK selamanya biji yang bagus berasal dari buah yang bagus. Karena sebab tertentu, justru biji jauh lebih bagus dari buah asalnya.
Meski berasal dari kampung terpencil, Anwar bersyukur telahir dari keluarga besarnya saat ini. Bukan karena ayahnya orang kaya, banyak tanah, dan lain-lain; tapi karena ayah Anwar tergolong keturunan ulama setempat.
Ketika masih hidup, kakek Anwar sangat disegani masyarakat kampung. Bisa dibilang, tak seorang pun yang mau memulai shalat berjamaah di masjid sebelum kakek Anwar datang. Begitu pun pada penentuan bulan Ramadhan dan Syawal. Kalau kakek Anwar bilang belum, tak seorang pun yang berani mengatakan sudah. Sepertinya, masyarakat takut kualat sama sang kakek yang sudah dianggap ulama besar di kampung itu.
Sayangnya, kecemerlangan sang kakek tidak diikuti keadaan anaknya yang juga ayah Anwar. Bahkan, bisa dibilang bertolak belakang. Ayah Anwar begitu acuh dengan pendidikan agama. Dimasukkan ke pesantren, kabur. Disekolahkan di madrasah, lebih banyak bolosnya daripada sekolahnya.
Kini, penyesalan itu pun datang. Ayah Anwar berharap, anaknya tidak seperti dirinya. Tidak heran jika ayah Anwar menyekolahkan Anwar ke pesantren di kota besar, agar kelak bisa meneruskan perjuangan sang kakek.
Masalahnya, Anwar masih belasan tahun dan tidak berada di kampung. Ayahnyalah yang selalu di kampung dan selalu bersama masyarakat. Mau tidak mau, ketokohan sang kakek sebagai ulama besar kampung akhirnya jatuh ke ayah Anwar.
Kalau ada kesempatan saat liburan pesantren, Anwar selalu mengajarkan ayahnya tentang pengetahuan Islam. Mulai dari akidah, Alquran, fikih, dan lain-lain. Sayangnya, kesempatan itu sangat terbatas. Anwar lebih banyak kangen-kangenan bersama ayah, ibu, dan adik-adiknya daripada tugas mendidik sang ayah.
Syukurnya, ayah Anwar insyaf sebelum terlambat. Walau tanpa isi, ayah Anwar terpaksa menggantikan peran sang kakek untuk memimpin shalat berjamaah. Penampilannya begitu hebat: gamis putih, kopiah putih, sorban, dan tasbih yang selalu terpegang.
Secara tampilan, tak seorang pun menduga kalau ayah Anwar belum banyak hafal surah-surah pendek di juz ‘Amma. Ketika ada seorang bertanya, kenapa surahnya jarang ganti, ayah Anwar menjawab enteng, “Sebaiknya jangan memberatkan jamaah shalat dengan surah yang panjang. Kasihan!”
Begitu pun kalau ada yang mau konsultasi agama. Biasanya, ayah Anwar meminta waktu beberapa hari untuk menjawabnya. “Sepertinya, saya perlu menelaah beberapa kitab,” ujarnya kepada penanya. Padahal, sang ayah tidak berani menjawab sebelum telepon ke Anwar untuk dapat jawaban sebenarnya.
Suatu kali, dalam kunjungan ke kampung, Anwar menyaksikan begitu banyak kemajuan dari ayahnya. Shalatnya yang selalu berjamaah, sudah mau belajar bahasa Arab, wudhunya yang tidak lagi asal basah, dan lain-lain. “Alhamdulillah, ya Allah. Kau telah limpahkan hidayah kepada ayahku,” ujar Anwar mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah.
Saat kunjungan itu, ada beberapa tamu yang memohon agar ayah Anwar bisa memimpin shalat jamaah di masjid kampung sebelah. Ayah Anwar pun menyanggupi.
Setibanya di masjid yang cukup besar itu, Anwar menyaksikan begitu banyak orang yang berebut untuk mencium tangan ayahnya. Karena shalat Zhuhur, ayah Anwar tak perlu repot-repot menyiapkan hafalan surah Juz ‘Amma yang agak lebih panjang.
Seusai shalat, tiba-tiba suasana masjid berubah. Beberapa orang membawa sesuatu kedalam masjid. Seorang jenazah yang siap untuk dishalatkan kini sudah berada di depan para jamaah.
Seorang pengurus masjid tampil menyampaikan kalimat sambutan. Setelah itu, ia pun mempersilakan ayah Anwar untuk memimpin shalat jenazah sekaligus doa.
Dengan penuh percaya diri, ayah Anwar yang tampil lengkap dengan kostum kebesaran ulamanya, mengajak para jamaah untuk berdiri dan memulai shalat jenazah. Sebelum memulai shalat, ayah Anwar menyampaikan nasihat pendek yang begitu menyentuh, walaupun tanpa menyampaikan dalil Alquran dan hadits.
Menyaksikan itu, Anwar merasa bangga. Ia benar-benar menyaksikan sosok ayahnya yang tak beda dengan sang kakek. “Alhamdulillah, ya Allah,” ucapnya dalam hati.
Shalat jenazah pun dimulai. Dan ayah Anwar begitu khusyuk memimpin jamaah dalam shalat itu.
Seusai shalat, seorang jamaah mengangkat tangan seperti ingin menyampaikan sesuatu kepada ayah Anwar. Ayah Anwar pun mempersilakan.
“Pak Kiyai, saya ingin nanya, kenapa shalat jenazahnya pake ruku’, i’tidal, sujud, dan lain-lain. Apa ada kekhususan dalam hal ini?” ucapnya berhati-hati.
Sebenarnya, inilah yang sejak shalat tadi dibingungkan Anwar. “Duh, aku lupa belum ngajarkan ayahku bagaimana shalat jenazah,” batin Anwar sembari tegang melihat keadaan jamaah masjid.
“Saudara-saudaraku,” ucap ayah Anwar tiba-tiba. “Semua itu aku lakukan supaya dosa-dosa si mayit bisa benar-benar Allah maafkan! Kalian semua paham?” jelas ayah Anwar, tenang.
“Paham!!!” jawab para jamaah, bersamaan. []