SUATU hari, seorang pemuda termangu dan berdiri di tepi sebuah jembatan dengan sungai berair deras di bawahnya.
Sesekali matanya menerawang jauh, menarik napas panjang, dan wajahnya menunjukkan dia sedang frustrasi dan putus asa.
Si pemuda berkata sendiri, “Semua kenikmatan duniawi telah aku cicipi. Aku kaya raya, pernah bepergian ke tempat-tempat indah di seluruh dunia dan menikmati semua makanan lezat serta kenikmatan yang dapat dibeli dengan uang. Saat ini aku sungguh tidak bahagia. Anak kesayanganku meninggal dunia, istriku pun pergi meninggalkan aku. Lalu, untuk apalagi aku hidup di dunia ini? Biarpun aku memiliki harta kekayaan, tetapi hatiku kosong dan menderita.” Setelah itu, si pemuda tampak bersiap-siap menceburkan diri ke dalam sungai, bunuh diri.
Pada saat yang bersamaan, seorang pengemis berpakaian kumal menghampiri dia.
“Tuan yang baik, tolong beri saya sedikit uang untuk makan. Saya doakan semoga Tuan selalu sehat dan berumur panjang.”
Mendengar permintaan pengemis itu, si pemuda segera mengeluarkan dompet dari sakunya. Ia mengambil semua uang yang ada dan memberikannya kepada si pengemis sambil berkata, “Ambillah semua uang ini.”
“Semua ini?” Tanya si pengemis tidak percaya.
“Iya, ambillah semua. Karena di tempat yang akan kutuju, aku tidak lagi memerlukannya,” kata si pemuda sambil mengalihkan pandangannya kembali ke arah sungai di bawah jembatan.
Si pengemis rupanya merasakan sikap pemuda yang agak janggal. Ia memegang dan memandangi uang itu sejenak, kemudian cepat-cepat dikembalikannya uang itu sambil berkata, “Tidak ah, tidak jadi. Aku memang seorang pengemis, tetapi aku bukan seorang pengecut dan aku tidak akan mengambil uang dari seorang pengecut. Ini, bawalah uang ini bersamamu ke sungai itu.” Pengemis itu pun segera pergi dari sana sambil berteriak lantang, “Selamat tinggal tuan pengecut!”
Mendengar ucapan si pengemis, pemuda itu terpana kaget. Perasaan puas dan bahagia sejenak yang dirasakan karena bisa memberi uang ke pengemis, lenyap seketika. Dia sangat ingin si pengemis menerima pemberiannya, apalagi di saat ia akan mengakhiri hidupnya, tetapi itu pun tidak bisa.
Tiba-tiba, pemuda itu sadar, ternyata dengan memberi kepada orang lain, telah membuat dirinya merasa bahagia. Ini merupakan sebuah perasaan dan pengetahuan baru bagi pemuda itu. Kemudian, dia kembali memandang ke arah sungai itu sekali lagi, lantas berpaling dan berjalan pergi mengejar si pengemis. Dia ingin mengucapkan terima kasih dan memberitahu bahwa dia tidak akan menjadi seorang pengecut. Dia berjanji di dalam dirinya, bahwa dia akan kembali berjuang, untuk mendapatkan kebahagiaan dengan memberi kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sahabat luar biasa,
Begitu mengenaskan mendengar orang mengakhiri hidupnya dengan jalan pintas. Dan terasa lebih mengenaskan lagi kalau kita mendengar orang bunuh diri hanya gara-gara masalah sepele. Keberanian harus diletakkan dalam porsi yang benar. Selayaknya kaya mental yang tertanam adalah ”berani hidup”, bukan ”berani mati”.
Kita melakukan itu semua karena sebuah alasan yakni hidup adalah tanggung jawab! Laksana seorang pejuang, apapun medan pertempuran di depan yang akan kita hadapi, kita punya kewajiban untuk menyelesaikannya. Kita punya tanggung jawab untuk menjalaninya. Apapun hasil nantinya, nilai kenikmatan sejati sebenarnya terletak pada proses perjuangan itu sendiri. Apalagi, jika hasil perjuangan itu bermakna pula bagi orang lain.
Karena itu, hidup akan jauh lebih bermakna jika kita bisa memberi sesuatu kepada orang lain. Itulah salah satu bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia. Dan jika ini kita sadari sepenuhnya dan kita perjuangkan dengan tekad kuat dilandasi ketulusan hati, maka kesuksesan yang kita raih akan jauh lebih berarti. Dengan begitu, saat menghadapi tantangan, mental kita akan semakin terlatih dan siap menghadapinya dengan penuh keberanian. Mari, jauhkan diri dari sikap berani mati secara pengecut, tetapi kita harus berani hidup secara Ksatria, maka hidup akan jauh lebih bernilai. []
Sumber: Andriewongso