Aisyah binti Abu Bakar merupakan satu-satunya istri Rasulullah yang masih perawan, bahkan Aisyah dinikahi oleh Rasulullah SAW ketika usianya masih kanak-kanak.
Bukan hal yang sulit bagi Rasulullah untuk beradaptasi dengan Aisyah yang pada masa itu baru saja meninggalkan masa kanak-kanaknya. Aisyah dibiarkan menghirup sisa-sisa masa kanak-kanaknya, baik pola pikir atau pun tingkah laku bermainnya.
Tidak dinafikan oleh Nabi bahwa Aisyah butuh perawatan serta perlakuan khusus dari Nabi. Beliau tidak menuntut Aisyah berbuat sesuatu diluar batas umurnya.
Bahkan, Nabi memberinya cinta, kasih sayang, dan kelembutan melebihi yang ia dapatkan dari kedua orang tuanya.
Semua itu Nabi lakukan agar hidup Aisyah berjalan sesuai dengan tabiat dalam dirinya. Tak ada intervensi atau pu paksaan kecuali yang menyangkut larangan atau lepas dari hukum syara.
Tak pernah Nabi membunuh keinginan Aisyah. Bila ingin meluruskan sebagian keinginannya yang menyimpang beliau lakukan dengan metode pendampingan dan pemberian nasihat, tidak sampai memaki sedikit pun.
Di rumah Nabi, Aisyah tumbuh semakin dewasa dan makin matang. Setiap inci perkembangannya tak luput dari sang suami yaitu Nabi.
Pada suatu kesempatan Aisyah keluar bersama Nabi, beliau mengajak bertanding lari untuk yang kedua kalinya setelah sebelumnya mereka pernah melakukannya ketika akan pergi ke Madinah. Namun untuk kali ini pertandingan lari tersebut dimenangkan oleh Nabi. Aisyah kalah kali ini, karena tubuhnya sudah padat dan berisi. Aisyah cemberut, tetapi Nabi meledeknya dengan memberikan senyuman. Dikenangnya bahwa dulu Aisyah yang menang, tetapi kali ini Rasulullah yang menang.
“Impas!” ucap Rasulullah kepada Aisyah sambil menggoda.
Nabi tahu seluk beluk jiwa Aisyah. Tahu kapan jiwanya sensitif, tahu kapan jiwanya bahagia.
Pada suatu hari Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Aku tahu kapan kamu marah kapan kamu bahagia…”
Merasa heran Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana bisa mengetahui suasana hati yang aku sembunyikan begitu rapi?”
Rasulullah menjawab, “Jika sedang marah, kau bersumpah ‘Demi Tuhan Ibrahim’. Jika hatimu sedang lapang kau bersumpah ‘Demi Tuhan Muhammad’.”
Aisyah tersipu, tawanya lepas tak tertahan “Demi Allah, Wahai Rasulullah hanya namamu yang tertinggal di hatiku.”
Nabi takjub akan gairah kecemburuan Aisyah. Bahkan, kadang sampai bingung memahami sikap kewanitaan dan kecintaannya yang luar biasa kepada beliau. []