Oleh: R. Marfu Muhyiddin Ilyas, MA
SHALAT adalah ajaran dan amalan eksplisit dalam Islam. Shalat juga satu-satunya tugas dalam Islam yang Wajib diperintahkan untuk orang yang belum wajib melakukannya. Adalah Rasulullah melihat yang mengisyaratkan hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, Baihaqi, dan Ahmad, Rasulullah melihat menegaskan, “Suruhlah anak-anak Anda untuk shalat jika mereka telah lahir 7 tahun. Pukullah mereka karena tidak shalat bila telah berdiri 10 tahun. Pisahkanlah mereka dari tempat tidur kalian.”
Dalam Islam, minimal baligh adalah 9 tahun. Setelah mencapai harga, maka seorang anak telah menemukan dewasa dan mandiri di hadapan Allah swt. Seluruh tingkah laku dan amal perbuatannya menjadi tanggung jawabanya sendiri. Dia mulai menorehkan pahala untuk orang yang suka, dan dosa untuk maksiat yang diperbuatnya.
Namun berkenaan dengan perintah shalat, hadits di atas menyebut angka 7 tahun sebagai permulaan pembelajaran shalat. Dengan kata lain, shalat wajib bagi anak-anak kecil yang belum baligh, minimal jumlah mereka sudah menginjak 7 tahun. Kewajiban mengajar shalat kepada anak-anak yang belum wajib melakukan shalat dalam kehidupan seorang muslim. Shalat wajib arsitek meskipun belum wajib dikerjakan.
Lalu bagaimana shalat ayat mengajar? Merujuk pada hadits shalat di atas, maka pembelajaran shalat dapat diurutkan ke dalam tiga fase, yaitu fase 0 – 7 tahun, fase 7 – 10 tahun, dan fase 10 – dewasa.
Fase 0 – 7 tahun
Fase ini merupakan fase yang sangat menentukan dalam pembelajaran shalat. Target pendidikan pada fase ini adalah mengenalkan shalat kepada anak, dan mengenalkan kepada siapa shalat dilakukan. Sebagai fase, pengenalan adalah manfaat terbesar yang harus diberikan kepada anak-anak.
Pada tahap inilah motivasi-motivasi spiritual untuk anak-anak ditanamkan. Selain shalat, dengan semangat spiritual anak juga akan mengenal Allah swt yang kepada-Nya shalat dilakukan. Pada tahap ini anak tidak diberi hukuman jika shalat, shalat tidak shalat anak belum menemukan berdosa atau membangkang kepada Allah swt.
Hal-hal yang perlu dikenalkan dari shalat kepada anak-anak dimulai dari adanya ibadah shalat dalam Islam, shalat nama-nama, shalat waktu, bilangan rakaat shalat, tempat shalat, dan tata-cara shalat. Pengenalan ini adalah upaya membuat kesiapan anak-anak. Menciptakan dia mencapai 7 tahun dan mulai diperintah shalat, anak-anak sudah memiliki kesiapan secara mental dan emosional. Dengan demikian perintah shalat pada fase itu, tidak lagi sebatas doktrinasi yang otoriter, namun penyadaran akan uang yang telah dibangun selam 3 – 4 tahun lamanya.
Namun demikian, yang terdekat harus dikenalkan sejak dini kepada anak-anak pada fase ini. Ini adalah shalat dan shalat yang dipersembahkan. Dialog metode lewat yang penuh keakraban anak dikenalkan tentang peran-peran Allah swt dalam siklus. Allah swt adalah penciptanya, yang merupakan anggota dari tubuh yang lengkap, yang menjaganya dari bencana, yang dapat digunakan kembali, bisa minum, minum dan berpakaian, merupakan kata-kata kunci mengenalkan Allah swt pada anak.
Selanjutnya shalat dikenalkan kepada anak-anak sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah swt yang sudah jadi baik sempurna. Shalat adalah kendaraan yang akan membawa anak-anak bertemu Allah swt, seperti juga dia berkendaraan mobil untuk bertemu dengan keluarga atau tempat yang disenanginya. Kalimat-kalimat tersebut adalah contoh bagaimana shalat dikenalkan kepada anak-anak sebagai sesuatu yang perlu dan menarik untuknya. Kalimat-kalimat dialog ini dapat dikembangkan dengan pola pikir dan perkembangan mental anak.
Karena fase ini lebih pada pada intisari shalat maka bantuan materil, intimidasi, dan pengeluaran sangat penting untuk dihindari dan dijauhkan dari pembelajaran shalat kepada anak. Motivasi materil seperti shalat lah nanti. Ayah beri uang, Ayo shalat nanti Ibu belikan mainan, dan sejenisnya akan merusak anak-anak tentang shalat.
Motivasi seperti ini sangat berbahaya bagi anak-anak, karena tidak spiritualisasi yang dibangun, tidak ada materialisasi. Begitu pula mengintimidasi anak dengan hukuman atau bahkan menghukumnya karena tidak shalat, akan berakibat pencitraan shalat sebagai beban berat dan kabur bagi anak. Dialog dan pengenalan, adalah kata kunci pada fase ini.
Bagaimana jika dengan dialog dan pengenalan itu, anak tidak dan merta melakukan shalat? Harus diakui masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir instan dan menempuh cara-cara yang instan pula. Mengadopsi istilah dalam bahasa pemrograman, setiap anak akan melakukan proses yang disebut dengan periode diam atau masa sunyi.
Pada masa sunyi ini anak informasi, menyimpannya dalam ingatan, dan mengolahnya menjadi sebuah konsep, dan menjadi potensial. Setelah masa ini terlewati, maka anak akan masuk ke dalam periode bunyi, di mana dia mulai menunjukkan respon terhadap motivasi yang telah diterimanya.
Konsep silent periode dapat juga dianalogikan dengan menyiram bunga. Bunga yang disiram tidak dan juga merta memunculkan bunga atau langsung mekar, diisapnya dulu air siraman itu, diendapkan dan diolah menjadi energi. Selang beberapa hari, barulah berbunga, mekar, dan menebar pesona.
Seperti perkembangan belajar shalat kepada anak-anak. Dalam konteks pembelajaran shalat, dialog dan pengenalan itu akan berbekas dalam diri anak bagi masa penerbitan. Anggaplah fase 0 – 7 ini adalah periode diam anak dalam mengenal dan memahami shalat. Bersabar dan berpikiran positif tentang anak akan sangat membantu orang tua dalam periode ini.
Dengan pengenalan dan semangat spiritual sebagai sasaran pembelajaran, maka penguasaan fiqih shalat tidak menjadi ukuran komitmen anak terhadap shalat. Dalam fase ini sangat mungkin cara shalat anak masih sangat kacau, jauh dari tata cara shalat yang benar. Hal seperti ini tidak lah menjadi masalah sebagai upaya pengenalan. Pada fase ini, garis mau shalat saja sudah merupakan prestasi anak yang patut diapresiasi. Pengenalan fiqih shalat yang sudah dini, dengan mengeluarkan yang kaku dan instruktif, malah akan membuat anak resistan terhadap ajakan shalat. []