Oleh: Sharmay Humay Astamanggala
GILA! Persidangan macam apa ini? Ini kasus terkonyol! Hanya karena makanan favorit aku dijadikan terdakwa. Sebelumnya aku tak ingat, tahu-tahu aku telah menjadi titik objek dari puluhan pasang mata di ruangan ini. Aku tidak terima!
“Maaf, Yang Mulia Hakim. Tidakkah Yang Mulia salah orang? Saya merasa tak bersalah. Dan lagi, kenapa saya tak didampingi pengacara?” protesku dengan menahan emosi. Siapa yang tidak emosi diseret ke pengadilan begitu saja?
“Saudari tidak memerlukannya, sebab banyak bukti yang menunjukkan bahwa Saudari bersalah,” kata Sang Hakim.
Bukti? Aku semakin bingung. Salah kah jika memakan makanan favorit? Sejak kapan negeri ini punya aturan yang melarang rakyatnya untuk menyantap makanan yang disukai. Aku berpikir keras, di mana sebenarnya letak kesalahanku? Liwet, sambal, tempe balado, dan ikan asin. Hmm … apa yang salah dari semua makanan favoritku itu?
Suara Sang Hakim terdengar kembali. “Saudari Kimya, bukankah dari kerajaan telah mengeluarkan surat peringatan tentang hal ini, tapi nyatanya Saudari mengabaikannya. Maka, sudah sepantasnya Saudari mendapat sanksi ringan. Dan jika Saudari tetap melakukannya, maka Saudari akan di Sidang di Mahkamah Paling Tinggi.”
“Saya keberatan, Yang Mulia! Saya linglung–benar-benar tidak mengerti dengan kasus ini. Juga surat peringatan, saya tidak mengetahuinya sama sekali.” Aku berhenti sejenak,”Yang Mulia, bisakah saya melihat bukti yang menjadikan saya bersalah? Barangkali saya menyadarinya. Dan satu lagi, hukuman apa yang akan saya terima?”
Sang Hakim membacakan hukuman untukku. Yang benar saja! Aku bukan tinggal di negeri dongeng atau di negeri para penyihir. Mana bisa mereka melakukan hal itu padaku!
Lalu sang Hakim memerintahkan seseorang agar membawa bukti-bukti kesalahanku. Tak lama, orang yang diperintah datang membawa proyektor.
Hm? Bukti macam apa yang akan kulihat? Aku rasa selama ini tidak diuntit CCTV atau kamera tersembunyi.
Proyketor itu menampilkan video rekaman diriku di kafe bersama beberapa sahabat. Lalu aku dengan kakak perempuanku di dapur, aku tengah menonton televisi dan tempat-tempat yang memang sering kusinggahi. Tapi anehnya, dalam video itu aku selalu menyantap sebuah makanan dan tampak menikmatinya. Ini pasti video rekayasa, editan!
Sang Hakim menjeda rekaman video. “Saudari sudah menyadari kesalahan?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Tuan Hakim, ini pasti rekayasa!” bantahku. “Memang saya mengakui pernah berada di tempat-tempat itu, tapi saya tidak sedang menyantap makanan.”
Hakim di hadapanku menyeringai, “Saudari Kimya benar-benar tak mengerti rupanya. Beberapa tempat tadi hanya sebagian kecil dari tempat-tempat Saudari menyantap makanan favorit. Itulah yang terjadi sebenarnya. Di mana pun Saudari, baik itu sedang berkumpul atau menonton televisi sendiri, Saudari menyantap makanan yang sama, makanan favorit; bangkai manusia!”
Aku tergugu.
Lalu, sang Hakim membacakan surat peringatan dari kerajaan, “… Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” [*]
Oh, Allah!
Ya, di tempat-tempat itu aku tak luput membicarakan orang lain, entah saudara, teman, bos, dan masih banyak lagi orang yang kukenal yang dijadikan topik pembicaraan.
Oh, Allah!
Orang yang tak kukenal pun tak luput menjadi sebab dosaku. Di depan televisi aku melihat orang-orang menggunjing, memfitnah. Tak sadar diriku ikut menyantap bangkai orang yang mereka gunjingkan. Kini, aku sadar letak kesalahanku.
Persidangan usai. Ketika aku beranjak keluar melewati sebuah kaca jendela. Betapa terkejut melihat bayangan diriku. Anjing! Ya, rupaku telah menjadi anjing. Itulah hukuman bagi orang yang senang memakan bangkai saudaranya. []
Tasikmalaya, 07-01-2016
[*]QS. Al-Hujurat:12
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word