Oleh: Abu Umar
JADI begini, ini tidak penting buat sebagian besar orang. Bertahun-tahun lamanya saya tak pernah berurusan dengan bank untuk “urusan-urusan besar”. Alasan saya dan keluarga masih ngontrak selama 13 tahun setelah pernikahan salah satunya karena keengganan untuk mengambil perumahan. Dalam kepala saya yang generik, mengambil perumahan berarti berurusan dengan kredit dan juga selain karena tabungan yang seucrit…
Tapi ketika anak gadis saya beranjak 13 tahun Desember mendatang 2015 ini, maka kebutuhan akan rumah menjadi sangat menjajah saya. Setiap detik, setelah tidak mengerjakan pekerjaan, yang ada di kepala saya adalah bagaimana membangun rumah di tanah sepetak yang sudah kami beli 2 tahun lalu. Bahkan, dua tahun belakangan ini, saya hanya menuliskan 1 saja resolusi sekaligus target saya: punya rumah. Saya sudah tidak (sedang) tertarik pada hal-hal lainnya sekarang ini.
Pekan lalu, ketika jalan-jalan dengan istri, mampirlah tak sengaja pada sebuah cluster perumahan dekat dengan kampung kami. Nanya-nanya dan melihat-lihat sebentar, istri saya terutama sangat ingin pindah ke perumahan itu. Sedangkan saya berpikir, pindah ke perumahan, maka dengan dana yang tidak terlalu besar, kami akan bisa “memliki” rumah yang cukup layak.
Di hari kedua bertanya-tanya pada developernya, saya dan istri berdiskusi panjang di rumah.
“Itu pasti ke bank konvensional ya?” tanya istri saya.
Saya tertawa getir. “Tak ada bank syariah di sini yang mau bermain ini…”
Istri saya terdiam. Ia menatap saya, baru kemudian berkata—persis seperti yang ada di kepala saya, “Aku sangat menginginkan rumah itu. Tapi setelah kita menghabiskan waktu lebih dari 13 tahun untuk menghindari kredit bank konvensional, akankah kita menukarnya dengan satu hal seperti ini?”
Saya tersenyum. “Kalau begitu, kita musti bersabar sampai mungkin beberapa tahun lagi untuk punya rumah sendiri…”
“Anak-anak kita semakin besar….”
“Terus bagaimana? Solusi paling dekat dan mungkin adalah ke perumahan sejenis ini…”
Istri saya menatap saya lagi.
Saya tersenyum lagi. “Kamu tahu, kemarin waktu kita ke pertemuan orang tua sekolah anak kita, ketika hampir semua orang lain menggunakan mobil, dan kita hanya menggunakan angkot, aku sama sekali merasa enteng saja, tak lagi merasa ‘terjajah’ dengan pikiran dan prasangka kerdil semacam dulu… Aku bangga aku bisa menggendong anakku bungsu sampai ia tertidur di pangkuanku di angkot itu. Aku juga tidak merasa gimana gitu, kita pulang ke rumah kontrakan. Lewat pekerjaan yang kukerjakan, Allah SWT memberikan begitu banyak nikmat dan karunia kepada kita…”
Istri saya tersenyum. “Ya kalau begitu, yang kurang besar dari kita adalah keikhlasan untuk bersabar saja.”
Saya menukas, “Setuju.”
Percakapan itu selesai dengan sendirinya. Kami masih tetap membicarakan soal rumah hampir setiap hari, namun dengan pikiran yang gelap kami akan segera mewujudkannya.
Hari Ahad kemarin, saya bertemu dengan kakak perempuan saya. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kamu punya berapa tabungan?”
Saya menyebutkan angka.
“Aku punya tabungan yang bisa kaupakai. Jangan dulu pikirkan bagaimana bayarnya. Segeralah bangun rumah, sebentar lagi mungkin musim hujan….”
Hari ini, seorang sahabat saya mendekati saya, “Saya bantu,” dengan menyebutkan nominal 2 kali lipat yang diberikan kakak saya.
Beberapa menit yang lalu, tiba-tiba saya membaca status di akun seorang rekan, “fal ‘ashifati ‘ashfa—Malaikat begitu cepat memberikan rizki bagi mereka yang bersabar.”. Masya Allah! Itu seperti status yang ditujukan pada saya.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu,” (HR. Muslim). []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word