MENGENAI darah istikhadhah, apa benar perempuan yang istikhadhah tidak diperbolehkan puasa?
Istihadah adalah darah yang keluar di luar jadwal haid dan juga di luar masa nifas.
Darah ini disebut darah penyakit. Karena bukan berasal dari rahim sebagaimana darah haid atau nifas. Namun disebabkan oleh adanya urat yang pecah atau putus dan kalau keluar langsung mengental. Sifatnya hampir mirip dengan darah yang keluar saat luka.
Para ulama menjelaskan, bahwa hukum yang berlaku pada darah istihadoh berbeda dengan darah haid. Wanita yang haid dilarang untuk sholat, puasa dan tawaf. Adapun wanita yang mengalami Istihadah, hukumnya seperti keadaan suci. Dia tetap diwajibkan sholat, puasa, dan boleh melakukan ibadah lainnya selayaknya wanita yang suci.
Imam al Qurtubi rahimahullah menerangkan,
“Wanita yang mustahadhoh, tetap diperintahkan puasa, sholat, tawaf, membaca Al Quran (meski dengan menyentuh mushaf, pent), dan diperbolehkan melakukan hubungan intim dengan suaminya,” (Al-Jami’ li Ahkam al Qur’an 2/86).
Keterangan ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis Aisyah radhiyallah ‘anha, beliau mengatakan,
Fathimah binti Abu Hubaisy datang menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kemudian berkata:
“Ya Rasulullah, sungguh aku ini perempuan yang selalu keluar darah (Istihadah) dan tidak pernah suci. Bolehkah aku meninggalkan shalat? ”
Rasul menjawab :
“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang tinggalkanlah shalat. Dan bila haid itu berhenti, bersihkanlah dirimu dari darah itu (mandi), lalu shalatlah,” (Muttafaqun ‘alaih).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, saat menjelaskan potongan hadis “darah Istihadah itu hanyalah darah penyakit.”
“Ini menunjukkan, bahwa darah yang keluar apabila darah tersebut adalah darah penyakit; diantaranya darah yang keluar saat operasi, maka darah itu tidak disebut darah haid. Oleh karenanya, tidak menyebabkan berlakunya larangan sebagaimana yang berlaku pada wanita haid. Maka tetap diwajibkan sholat dan puasa; apabila terjadi di siang hari ramadhan,” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, jilid 11, soal nomor 226). Wallahua’lam bis Showab. []