Oleh: Astia Putriana, SE
Mahasiswi Pascasarjana FEB UB Malang dan Anggota Komunitas Penulis “Pena Langit”
Simpati silih berganti terus berdatangan terhadap penderitaan yang dialami oleh saudara-saudari di Palestina. Berbagai pihak amat menyayangkan dan menyesalkan tindakan brutal yang terus dilakukan tentara Israel terhadap warga Palestina selama beberapa bulan terakhir. Kecaman serupa juga hadir di Universitas Houston beberapa hari yang lalu. Duta Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, mendapat sambutan tak menyenangkan dari sekelompok mahasiswa yang menyorakinya di tengah pidato (22/5). Sekelompok mahasiswa tersebut memprotes tindakan Nikki yang mendukung dan membela tindakan Israel yang telah membunuh lebih dari 60 warga Palestina di jalur Gaza pada 15 Mei lalu (LiputanIslam.com).
Teriakan menggema …………….
“Nikki, Nikki can’t you see? You are on a killing spree”
“Nikki Haley you can’t hide! You sign off on genocide!”
“Nikki, Nikki, you will see, Palestine will be free!”
Kondisi memprihatinkan yang dialami saudara-saudari kita di Palestina memang merupakan kondisi yang tak selayaknya terjadi. Baik dilihat dari pandangan kemanusiaan maupun secara khusus dari pandangan Islam. Bagaimana kita rela dengan terbunuhnya puluhan bahkan ratusan jiwa tak berdosa oleh tangan-tangan tentara zionis Israel?
Namun, apa yang sebenarnya lebih miris dan menyedihkan daripada apa yang dialami saudara-saudari kita di Palestina tersebut? Mari kita merenungi sebuah hadis yang bisa jadi amat popular di telinga kita. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya. Sesungguhnya itulah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).
Cara mengubah kemungkaran yang paling lemah saja terletak pada hati. Sayangnya, kita mendapati masih banyak kaum muslim yang hatinya keras untuk sekedar ikut sedih dan merasa terluka atas penderitaan yang dialami oleh saudaranya di Palestina. Bersikap acuh dan tak mau terlibat mandalam. Merasa sibuk dengan masalah percintaan, ujian sekolah/kuliah dan cicilan rumah/mobil yang mungkin dianggap sudah cukup berat. Maka, di level manakah kaum muslim ini jika dikorelasikan dengan hadis diatas?
Muslim yang mendamba gelar “hamba yang bertakwa” seharusnya senantiasa taat kepada Allah SWT, tak terkecuali terhadap perintah untuk mengubah kemungkaran. Mengubah dengan cara teroptimal sebagaimana yang Allah SWT perintahkan. Sebagaimana hadis diatas, lisan yang mencegah kemungkaran adalah cerminan meningkatnya derajat kekuatan iman seseorang. Lisan inilah yang juga dikatakan Allah SWT sebagai perkataan yang terbaik. Lisan yang menyeru kepada Islam. Lisan dakwah.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?” (Q.S Fussilat ayat 33)
Kekuatan iman seorang muslim juga dapat tercermin dari usahanya mengubah kemungkaran dengan tangannya (kekuasaan). Inilah orang-orang spesial yang dengan kekuasaan yang dimilikinya seharusnya tidak hanya berhenti pada lisan mengecam atau mengutuk. Namun juga berani dan bergerak menolong agama Allah SWT dan menolong kaum muslim dari kemungkaran. Mereka inilah para penguasa dan pemimpin dunia yang harusnya menjadi orang-orang yang memiliki sekuat-kuat iman. Tidakkah harusnya bangga?
Oleh karenanya, siapapun kita seharusnya bisa semakin termotivasi untuk meraih gelar sebagai seorang muslim yang kuat imannya dengan ikut mengoptimalkan diri mengubah kemungkaran. Semua orang memiliki hati, hati yang sama untuk ikut bersedih dan mendoakan. Pun dengan lisan. Lisan siswa SMA, mahasiswa, emak-emak, bapak-bapak, PNS, pengusaha bahkan penguasa semua sama. Semua bisa menyuarakan kebenaran. Jika mereka yang nonmuslim saja mampu dan berani dengan garang mengecam kezaliman atas nama kemanusiaan, maka muslim harusnya jauh lebih mampu atas nama keimanan.
Tangan penguasa Indonesia, penguasa Turki, penguasa Arab Saudi juga sama, seharusnya mampu mengubah kemungkaran. Kuat dan bersatu dalam satu kepemimpinan untuk mengubah kemungkaran hingga mampu terwujud keselamatan dan keamanan nyawa manusia secara umum dan kaum muslim secara khusus. Pertanyaannya, mau taat atau tidak? Jika tidak maka silahkan jawab, siapa sebenarnya yang lemah? []
26 Mei 2018
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.