MENURUT syariat Islam, i’tikaf atau menetap di masjid biasanya dilakukan di sepuluh hari akhir bulan Ramadhan. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
Dan, hadis Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa salam yang diriwayatkan dari Aisyah ra.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan hingga wafatnya kemudian isteri-isteri beliau pun beri’tikaf setelah kepergian beliau.” (HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Jelas, disebutkan bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid. Namun, mengingat perkembangannya, banyak sekali bangunan masjid yang ada di tengah masyarakat muslim saat ini. Sementara, dalam ayat di atas masjid yang dimaksud masih bersifat umum. Apakah itu berarti i’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik masjid jami’ maupun masjid yang lebih kecil atau mushola?
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di atas (yang artinya) “Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Shahih Fiqh Sunnah, 2/151)
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.”
Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu” (Fathul Bari, 4/271-272)
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksud. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754) ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al Baqarah: 187).
Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at (Al Mughni, 4/462). Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah?
Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.” (Al Mugni, 4/461)
Jadi, masjid yang dipakai untuk i’tikaf memang sifatnya umum (bisa semua masjid). Tidak didasarkan pada besar kecil tempat atau kapasitas jamaahnya.
Selama digunakan untuk shalat jama’ah, baik mushola ataupun langgar, tetap masuk dalam sebutan masjid menurut istilah para ulama. Sementara musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13754).
Berdasarkan pendapat para utama di atas, ada dua kriteria masjid yang dijadikan tempat i’tikaf yaitu masjid yang biasa digunakan untuk berjamaah shalat lima waktu dan biasa digunakan untuk berjamaah shalat jumat. Jadi, i’tikaf bisa dilakukan di masjid-masjid tersebut. []
SUMBER: RUMAYSHO