TANYA: Jasa layanan penukaran uang dadakan biasa muncul di pinggir setiap kali menjelang lebaran. Mohon penjelasannya karena masalah ini diperselisihkan oleh sebagian orang. Terima kasih.
JAWAB: Penyedia jasa penukaran uang di tepi jalan kerap kali muncul di akhir Ramadhan. Keberadaan mereka cukup membantu masyarakat yang membutuhkan jasa mereka. Namun praktik layanan penukaran uang ini menimbulkan polemik di masyarakat.
Nilai praktik penukaran uang ini cukup pelik. Praktik ini dapat dilihat dari dua sudut. Jika yang dilihat dari praktik penukaran uang itu (ma’qud ‘alaih) adalah uangnya, maka penukaran uang dengan lebih jelas haram karena praktik ini terbilang kategori riba.
Perhatikan bahwa praktik-praktik penukaran uang (ma’qud ‘alaih) adalah jasa orang yang menyediakan jasa, yaitu praktik penukaran dengan kelebihan mubah menurut syariat karena praktik ini terbilang kategori ijarah.
Ijarahnya adalah sejenis jual-beli juga, hanya saja produknya adalah berbentuk jasa, bukan barang. Karena ijarah adalah sejenis jual beli, maka ia tidak termasuk kategori riba sebagai keterangan Kitab Fathul Mujibil Qarib di bawah ini:
“Ijarah (sewa) sebenarnya adalah jual-beli, hanya bedanya ijarah menerima pintas tempo. Produk pada ijarah bukan pada barang, tetapi manfaat (jasa) dari sebuah barang atau jasa dari sebuah tenaga (aktivitas),”(Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib , [Situbondo, Maktabatul As’adiyyah: 2014 M / 1434 H], cetakan pertama, halaman 123).
Perbedaan orang dalam arti disebabkan karena perbedaan mereka dalam pemahaman akad penukaran uang itu sendiri (ma’qud ‘alaih). Sebagian orang melihat uang sebagai barang yang dipertukarkan. Sementara sebagian besar orang yang menyediakan jasa penukaran. Tetapi terkadang barang itu sendiri mengikut sebagai konsekuensi akad jasa tersebut.
“Barang-barang tertentu yang digunakan untuk orang-orang untuk menyusui, maka itu dapat dilakukan nash Al-Quran. Yang paling shahih, titik akadnya terletak pada aktivitas yang mengasuh anak balita yang meletakannya di pangkuannya, menyuapinya dengan susu, dan memerahnya sesuai kebutuhan. Titik akadnya (ma’qud ‘alaih ) dari pada si si perempuan. Sementara ASI menjadi hak balita sebagai konsekuensi dari aktivitas pengasuhan,”(Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, Bandung, PT Al-Maarif: tanpa catatan tahun, halaman 259).
Tarif yang harus dibayarkan pada penukaran uang di pinggir jalan adalah jasanya, bukan pada barangnya, yaitu uang. Pembayaran tarif dalam jasa itu sendiri dalam Al-Quran perihal perempuan sebagai layanan jasa, bukan harga jual seperti ini:
Allah berfirman, ‘Jika mereka telah menyusui anakmu, maka berikan upah kepada mereka,’ (Surat At-Thalaq ayat 6). Allah mengaitkan upah di situ dengan aktivitas menyusui, bukan pada asinya, ”(Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar , [Beirut, Darul Fikr: 1994 M / 1414 H], juz I, halaman 249).
Soal tarif jasa penukaran uang memang tidak diatur di dalam fiqih. Tarif jasa disesuaikan dengan istilah atau keridhaan antara Kedua belah pihak. Kami menyarankan pemerintah untuk memberikan tarif referensi untuk jasa penukaran uang di seluruh jalan di tahun ini. []
SUMBER: