SALAH satu tradisi lebaran adalah mudik. Dan, salah satu permasalahan terkait ibadah dalam pelaksanaan mudik adlah tentang puasa dan shalat. Sebab, dalam Islam ada syariat yang membolehkan seseorang yang bepergian jauh (musafir) untuk berbuka atau membatalkan puasanya. Selain itu juga ada keringanan dalam shalat yaitu boleh menjamak ataupun mengqasharnya.
Bagaimana keringanan tersebut bisa diperoleh si pemudik, itu bergantung pada statusnya, apakah ia musafir atau bukan. Mengapa? Seseorang yang sedang dalam perjalanan mungkin saja disebut musafir, namun jika sudah sampai di kampung halaman, apakah statusnya masih musafir atau bukan?
BACA JUGA: Fenomena Mudik
Nah, untuk lebih memahami permasalahan yang terjadi dalam kondisi tersebut, kita bisa mengambil contoh dari perjalanan ‘mudik’ Rasulullah SAW.
Perlu diketahui bahwa Rasulullsh SAW aslinya adalah penduduk Mekkah Al-Mukarramah. Beliau SAW lahir 572 masehi di Mekkah, tumbuh dan tinggal di Mekkah hingga dewasa serta berkeluarga disana.
Di usia 53 tahun, Beliau SAW bersama ribuan shahabat meninggalkan kota Mekkah pergi berhijrah ke Madinah Al-Muwarah. Lalu mereka tinggal dan menetap menjadi penduduk disana untuk seterusnya.
Bolehlah kita sebut bahwa Beliau SAW dan para shahabat ini sebenarnya berstatus ‘merantau’ juga. Sebab mereka tetap merasa punya kampung halaman yang selalu dirindukan dalam hati, yaitu kota Mekkah Al-Mukrramah.
Memang tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Beliau SAW pulang ‘mudik’ ke Mekkah tiap lebaran. Tetapi bukan berarti sama sekali tidak pernah. Paling tidak di tahun ke-10 hijiryah, Beliau SAW bersama dengan puluhan ribu shahabat melakukan ibadah haji (Haji Wada’) ke Mekkah selama beberapa hari lamanya. Peristiwa ini boleh kita sebut sebagai ‘mudik masal’. Pulang kampung untuk sementara tapi tidak untuk seterusnya.
Status musafirnya Rasulullah SAW sudah pasti, setiaknya selama perjalanan dari Madinah ke Mekkah yang biasanya memakan waktu selama seminggu perjalanan melewati padang pasir, dipastikan Beliau SAW itu berstatus musafir. Beliau pun selalu menjama’ dan mengqashar shalatnya selama melwati rute itu.
Apakah status Beliau SAW tetap musafir selama di Mekkah?
Semua hadis menyebutkan bahwa Beliau SAW dan para shahabat selama prosesi ritual ibadah haji, setidaknya mulai tanggal 9 Dzulhijjah yaitu Wukuf di Arafah hingga ke Mina pada tanggal 10-11 dan 12 Dzulhijjah, di Mekkah, selama itu pula Beliau SAW menjama’ dan mengqashar shalat lima waktu.
Yang tidak melakukannya hanya jamaah haji yang merupakan penduduk Mekkah asli, khusus untuk mereka ternyata Nabi SAW melarang mereka untuk menjama’ dan mengqashar shalat. Alasannya dengan tegas disebutkan, yaitu karena mereka bukan musafir. Maka mereka pun shalat empat rakaat untuk Zhuhur, Ashar dan Isya. Tidak disebutkan apakah mereka menjama’ atau tidak.
Tetapi setelah prosesi ibadah haji selama 4 hari itu selesai, Nabi SAW sudah tidak lagi menjama’ atau mengqashar shalat. Padahal Beliau SAW masih tetap tinggal di Mekkah untuk sementara waktu.
Pada titik inilah kemudian para ulama menyebutkan status Beliau SAW sudah bulan lagi musafir, tetapi sudah menjadi orang yang muqim sementara. Dan untuk itu setelah 4 hari bermukim di Mekkah, sudah tidak mendapatkan lagi fasilitas untuk menjama’ dan mengqadhar shalat.
Dil luar apa yang umumnya disepakati para ulama, ada juga yang punya pendapat agak berbeda, seperti Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa masa berlakunya jama’ dan qashar bila menetap di suatu tempat selama 15 hari. Namun jumhur ulama sepakat dengan angka 4 hari di luar hari kedantangan dan kepulangan.
Sedangkan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Beliau SAW pernah menjama’ dan mengqashar lebih dari 4 hari, seperti 19 hari, tiga bulan dan sebagainya, kasusnya berbeda dengan kasus ini. Sebab Beliau SAW tidak menetap di desa atau kota atau tempat yang lazim lazim dihuni manusia. Beliau SA Wsaat itu berkemah di padang pasir luar pemukiman.
BACA JUGA: Shalat Jamak Taqdim dan Takhir, Ini Nih Syaratnya
Masuk akal dan wajar kalau statusnya tetap musafir terus. Seperti tentara yang masuk hutan atau awak kapal laut yang berlayar di lautan berbulan-bulan, wajar kalau status mereka tetap musaifr terus. Alasannya karena selama itu mereka tidak masuk ke wilayah pemukiman masyarakat dan tinggal secara wajar sebagai warga kota atau warga desa.
Jadi, selama mudik dan berada di kampung halaman kurang dari 4 hari, status pemudik masih disebut musafir dan boleh menjamak ataupun mengqashar shalat. Namun, lebih dari itu, statusnya sudah menjadi pemukim sementara sehingga tak boleh lagi menjamak ataupun mengqashar shalatnya. []
SUMBER: RUMAH FIQIH