Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
Kontributor Islampos di Norwegia
SUNGGUH banyak hikmah yang saya dapatkan selama berinteraksi dan bersilaturahim dengan keluarga besar selama mudik Lebaran ini. Tapi ada dua pelajaran mendasar yang paling berkesan di hati, sekaligus menjadi catatan untuk diri sendiri.
BACA JUGA:Â Ya Allah Maafkan Hamba
Pertama adalah kecenderungan kita untuk mempertahankan sifat asli di hadapan khalayak, utamanya sifat buruk yang sudah mendarah daging. Istilahnya “old habit dies hard”. Ke mana perginya etika dan pentingnya menjaga sikap manis terhadap anak, orangtua dan pasangan ketika kita sedang dikelilingi oleh sanak-saudara?
Kalaupun harus menegur atau marah, seharusnya bisa ditangguhkan ketika hanya ada kita-kita saja. “Orang luar” tak perlu menyaksikan semua taring dan tanduk kita keluar dan menjadikannya tontonan gratis bukan?
Pelajaran kedua adalah semakin menipisnya persediaan sabar pada manusia zaman sekarang. Kesabaran antara orangtua dan anak (dan sebaliknya), kesabaran isteri terhadap suami (dan sebaliknya), juga kesabaran antarsaudara semakin terkikis. Amarah begitu mudah tersulut. Omelan begitu ringan terlontar dari bibir-bibir kita.
Yang paling aneh menurut saya adalah kita bisa begitu sabar dan bersikap manis di hadapan rekan sejawat, teman sepergaulan atau bahkan orang asing sekalipun. Tapi mengapa semua kesabaran itu kita singkirkan ketika kita berhadapan dengan orang-orang terdekat yang seharusnya paling kita jaga perasaannya?
BACA JUGA:Â Senjata Paling Kuat Adalah Do’a Orangtua
Jangan jadikan acara sungkeman hari raya sekadar formalitas semata. Jangan hanguskan semua amal ibadah yang susah payah kita semai selama bulan suci Ramadhan menjadi tersia-sia. []