Oleh: Mafruhatun Nadifah
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis merupakan mahasiswi semester 4 fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2016. Penulis pernah aktif di majalah sekolah “TABILLA” dan buletin El-Fikri.
Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin benar-benar memberikan angin sejuk dan menebar hal positif bagi alam dan seisinya. Sebelum islam datang, wanita tidak dapat menikmati haknya sebagai manusia. Semboyan memanusiakan manusia masih taboo pada masa itu. Jangankan diperlakukan layak oleh sesama, alampun seolah tidak menerima kedatangannya di dunia. Wanita. Pernah menduduki level terendah pada masanya. Masa dimana islam belum ada. Hak mereka dilanggar, pendapat tak didengar, kemauan ditekan bahkan sangat dilecehkan. Mereka adalah kaum yang tidak memiliki tempat pada masyarakat. Kaum lemah dan tak bermartabat.
Dalam masyarakat Yunani, wanita hanyalah budak dari nafsu saja. Bahkan mereka diperjual-belikan seperti halnya komoditi pasar. Dalam sebuah buku karya Nikolaos A. Vrissimtzs yang berjudul Love, Sex and Marriage in Ancient Greece, wanita dapat dikelompokkan menjadi dua, wanita terhormat dan pekerja seks semata. Wanita terhormatpun tidak memiliki kedudukan penting dalam bermasyarakat, mereka hanyalah sebatas “mesin pencetak” generasi baru peradaban. Mereka disembunyikan dan publik pun tak mengenal.
Contoh lain di India. Dalam buku karangan Achmad Munif yang berjudul “Kisah 40 Perempuan yang Mengubah Dunia”, terdapat kutipan yang berbunyi “Di India, anak perempuan seringkali hanya dianggap sebagai beban bagi keluarga. Soalnya begitu besar jumlah mahar yang harus diberikan keluarga perempuan kepada pihak laki-laki saat mereka menikah”. Bahkan setelah menikah, ketika seorang istri ditinggal mati suami, Para Cendekiawan berpendapat bahwa janda cerai mati tidak berhak hidup lagi. Oleh karena itu, wanita harus mati ketika suaminya meninggal dan dibakar dalam satu perapian.
Tidak terlewatkan, pada masa jahiliyah Bangsa Arab, wanita juga bernasib menyedihkan. Wanita adalah aib bagi keluarga. Masyarakat Arab jahiliyah mengubur hidup-hidup anak perempuan yang lahir karena takut akan kehinaan dan kemiskinan. Kejadian ini terekam dalam al-qur’an, Allah berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلْأُنثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُۥ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
Terjemahannya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah”. (Q.S. An-Nahl: 58).
Singkat cerita, masa kelam itu pudar, tergantikan oleh cahaya islam yang terpancar. Islam datang, wanita mulai terpandang. Terdapat kalimat menyejukkan dalam buku yang berjudul “Tokoh-Tokoh yang Diabadikan Al-Qur’an Vol.2” oleh Abdurrahman Umairah, jika wanita berfungsi sebagai seorang ibu, keridhaan Allah terletak pada kepatuhannya dan dibawah kakinyalah surga berada. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat yang tidak asing lagi bagi khalayak umum, jika wanita sebagai seorang istri, ia menjadi pelengkap dan menyempurnakan setengah dari agama suaminya. Bahkan ketika wanita baru terlahir, ia memberi manfaat yang begitu besar, ia menjadi pembuka pintu surga bagi orang tuanya.
Namun, di masa dimana Islam telah berdiri dengan kokohnya, mengapa wanita masih dianggap lemah dalam beberapa hal? Contohnya, masalah talak. Mengapa istri tidak bisa mentalak suami? Jika saja ada suatu kasus dalam rumah tangga, sebutlah kekerasan dalam rumah tangga. Ada seorang istri yang berada dalam keadaan tertekan, setiap hari ia mendapat perlakuan kasar, dipukuli hingga memar dan menerima beribu perlakuan tidak benar, apakah wanita hanya bisa terdiam? Bahkan hanya mampu meminta untuk dicerai. Seandainya meminta dicerai namun si suami keberatan, alhasil wanita tidak mampu berkutik sedikitpun. Lalu mengapa hak talak hanya di tangan lelaki?
Jawabanya sangatlah sederhana duhai muslim-muslimah. Islam tidak pernah membebankan syariat berat tanpa adanya segudang maslahat. Tidak berhak mentalak, bukan berarti membuat martabat wanita terinjak. Itulah cara Allah agar hikmah bisa didapat.
Alasannya tidak lain karena lelaki mampu mengendalikan emosi. Dilansir dari madani online, pria lebih banyak berbuat dan bekerja, seringkali “rumahnya” di luar, yaitu di tempat ia bekerja. Segala permasalahan ia sandarkan pada prinsip-prinsip yang cenderung rasional. Dan rasio pria lebih kuat daripada rasio wanita.
Sedangkan wanita mudah tersinggung dan pikirannya kerap ditundukkan emosi. Di lain pihak, wanita tidak memiliki tanggung jawab untuk membiayai keluarga. Oleh sebab itu, jika seandainya talak berada pada tangan seorang wanita, tanpa perlu pikir panjang, hukum talak akan sangat mudah untuk dijatuhkan. Wallahu A’lam. []