PERAHU itu lebih mirip kerangka kayu. Ditumpangi oleh sekitar 50 orang pengungsi dari Rohingya. Mereka masuk ke Malaysia melalui Padang Matsirat di tahun 2012.
Akar-akar umput tumbuh di lambung kapal yang membusuk, mengundang tanya tentang nasib para penumpangnya.
Azali Nanyan, 32, mengatakan bahwa ia orang-orang sedesanya yang menggunakan perahu itu segera dijemput oleh pihak berwenang Malaysia.
Sedangkan Mahmud Inus, 42, terus mengingat kondisi hina-dina semua orang Rohingya yang harus bertahan di kampung halaman mereka di negara bagian Rakhine, Myanmar.
“Saya seorang muslim. Saya tidak punya tempat di Myanmar. Kami tidak diakui sebagai warga negara. Mereka membunuh Muslim di sana. Keretakan antara Muslim dan Buddha telah berlangsung selama 25 tahun,” ujarnya pilu, seperti dikutip dari The Star, Malaysia.
Mahmud tiba di Malaysia 11 tahun lalu, melalui Thailand dengan menumpang pada sebuah kapal.
Faizal Ahmad, 35, seorang pekerja bangunan, tiba beberapa tahun sebelumnya. Dengan tujuan sama: untuk mengejar kehidupan yang lebih baik untuk dia dan keluarganya.
“Ada banyak masjid di Myanmar, tapi selalu dikunci dan digembok. Kami tidak diperbolehkan untuk shalat, kita tidak boleh menunjukkan keimanan kami.
“Anak-anak saya tidak diizinkan untuk sekolah; mereka tidak bisa belajar bagaimana membaca buku.
“Tidak ada kesempatan kerja. Bahkan jika ada, para pengusaha di sana mengambil setengah dari gaji kami,” katanya.
Mahmud mengatakan orang-orang Rohingya seperti dirinya mengambil risiko besar dengan melakukan perjalanan ke Malaysia dengan kapal. Namun jika tidak dilakukan, mimpi buruk tidak akan berakhir.
“Mereka yang tidak mampu membayar RM10,000 kepada kapten kapal akan ditembak mati,” katanya. []