TANYA: Sesuai dengan yang saya pahami bahwa jika seorang laki-laki ingin masuk Islam dengan tujuan untuk menikahi wanita muslimah misalnya, meskipun dorongan masuk islamnya bukan karena iman yang benar, maka Allah akan menerima keislamannya; karena dengan jalan ini orang laki-laki tadi akan menambah jumlah kaum muslimin, terlebih bahwa anak-anak mereka juga akan menjadi muslim dari pada menjadi nasrani. Maka apakah pendapat anda tentang hal tersebut?
JAWAB: Alhamdulillah, dikutip dari Islamqa. Keimanan itu bersumber dari hati, atas dasar itulah maka niat menjadi dasar terbesar dalam syari’at Islam, maka dari itu ada sebuah hadits yang oleh para ulama dianggap sebagai setengah dari agama, para ulama pun banyak yang memulai bukunya dengan dengan hadits tersebut, seperti Imam Bukhori –rahimahullah- dalam Shahihnya yang diriwayatkan oleh Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Saya mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )البخاري : 1)
“Sesungguhnya semua perbuatan itu tergantung dengan niatnya, dan setiap orang sesuai dengan apa yang ia niatkan, barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang diinginkannya atau seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niat hijrahnya”. (HR. Bukhori: 1)
BACA JUGA: Syarat Pernikahan Tidak Boleh Merokok, Bolehkah?
وفي رواية مسلم : ( فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ) مسلم 3530
Dan dalam riwayat Muslim: “Barang siapa yang (niat) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka (pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niat hijrahnya”. (HR. Muslim: 3530)
Atas dasar inilah maka dalam masalah ini ada dua sisi:
Pertama: Berkaitan dengan diterimanya keislamannya oleh Allah, hadits di atas menunjukkan tidak diterima keislamannya jika didasari hanya dengan niat menikah saja, dan keimanannya belum terpatri di dalam hatinya.
Kedua: Berkaitan dengan berlakunya hukum Islam secara dzahir, maka laki-laki tersebut jika telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan mengamalkan syi’ar-syi’ar Islam, dan tidak melakukan sesuatu yang membatakannya, maka statusnya sama dengan kaum muslimin dan dibolehkan menikah dengan wanita muslimah tersebut; karena kita semua diperintah oleh syari’at untuk menilai orang dari sisi dzahir perbuatan mereka, kita semua tidak diperintahkan untuk mencari tahu isi hatinya sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id al Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
” إِنِّي لَمْ أُؤمَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلا أَشُقَّ بُطُونَهُمْ ” البخاري 4004 مسلم 1763 .
“Sesungguhnya saya tidak diperintah untuk membelah hati manusia, dan tidak juga merobek perut mereka”. (HR. Bukhori: 4004 dan Muslim 1763)
Semoga laki-laki di atas jika telah masuk Islam meskipun dengan niat untuk menikah, kemudian memahami ajaran Islam yang pada akhirnya mendorongnya untuk memperbaiki niatnya, hingga niat masuk Islamnya menjadi murni karena Allah, keislamannya pun menjadi baik, Allah pun akan menerima keislamannya. Dan bagi siapapun yang mungkin memiliki hubungan dengan laki-laki tersebut agar menasehatinya bahwa tujuan utama dalam Islam adalah hanya untuk Allah dan masuk Islam dengan sebenarnya. Adapun tujuan pernikahan adalah menjadi tujuan kedua dan sebab untuk memasuki nikmat tersebut bukan tujuan. Bisa jadi wanita muslimah tersebut menjadikan pernikahan dengannya menjadi motivasi bagi laki-laki tersebut untuk masuk Islam, sebagaimana yang pernah terjadi pada Ummu Sulaim –radhiyallahu ‘anha- tentang pernikahannya dengan Abu Thalhah –radhiyallahu ‘anhu-. Dari Anas berkata:
تَزَوَّجَ أَبُو طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ فَكَانَ صَدَاقُ مَا بَيْنَهُمَا الإِسْلامَ أَسْلَمَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ قَبْلَ أَبِي طَلْحَةَ فَخَطَبَهَا فَقَالَتْ إِنِّي قَدْ أَسْلَمْتُ فَإِنْ أَسْلَمْتَ نَكَحْتُكَ فَأَسْلَمَ فَكَانَ صَدَاقَ مَا بَيْنَهُمَا. النسائي3288 وصححه الألباني في صحيح سنن النسائي 3133 .
“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim, dan yang menjadi mahar dalam pernikahan tersebut adalah Islam, Ummu Sulaim lebih dulu masuk Islam dari pada Abu Thalhah, ia pun melamarnya, Ummu Sulaim pun berkata: “Saya sudah masuk Islam, jika kamu masuk Islam maka saya mau menikah denganmu, ia pun akhirnya masuk Islam dan keislaman itulah yang menjadi mahar pernikahan mereka berdua”. (HR. Nasai 3288, dan di shahihkan oleh al Baani dalam Shahi Sunan Nasai: 3133)
BACA JUGA: Masuk Islam Secara Online, Bisakah?
Adapun analisis bisa diterima keislamannya –sebagaimana yang ada dalam soal di atas- dengan bertambahnya jumlah umat Islam adalah tidak benar; karena bertambahnya jumlah umat Islam, meskipun hal itu adalah baik dan menjadi tujuan, namun hal itu tidak menjadi sebab diterimanya orang yang berpura-pura masuk Islam dan tidak beriman dengan sesungguhnya; karena Islam memperhatikan bagaimana dan berapa bukan hanya berapa saja. Seorang yang jujur dalam agamanya lebih baik dari 1000 para pendusta dalam agama. Wallahu a’alam. []