SEPERTI makan dan minum, hubungan suami istri merupakan kebutuhan orang yang sudah dewasa. Namun bagi umat Islam, hubungan tidak bisa dilakukan sembarang. Harus dilakukan secara sah antara suami-istri, dan setelah itu, ada banyak hal dalam hubungan yang mungkin tak bisa didapatkan dalam keyakinan yang lain.
Salah satunya adalah berhubungan dengan pasangan yang sah dalam Islam merupakan ibadah juga. Karena ibadah, maka hubungan juga hendaklah dilakukan dalam kondisi suci. Artinya tidak tengah menanggung hadats besar.
Masalahnya kemudian, bagaimanakah jika seseorang hendak berhubungan untuk yang kedua kali, padahal ia belum mandi untuk hubungan yang pertama? Bagaimana hukumnya? haruskah orang itu mandi terlebih dahulu kemudian hubungan untuk kedua kali?
Jika seseorang telah usai hubungan dan berkeinginan untuk mengulanginya lagi, hendaklah ia berwudhu terlebih dahulu. Karena jika tidak diselengi dengan wudhu hukumnya makruh. Maka hilangkanlah kemakruhan itu dengan istinja’ dan wudhu dan tidak harus mandi terlebih dahulu.
Bahkan disebutkan bahwa selagi kita belum mandi maka makruh hukumnya, makan, minum, demikian pula tidur. Jadi sekurang-kurang menghilangkan kemakruhan adalah wudhu.
Alhafidzul Iroqy mempunyai nadzam yang menerangkan beberapa hal dari pada tujuh puluh delapan perkara yang disunnatkan berwudhu. Diantaranya; “Dan sunnat wudhu jika orang yang junub itu memilih makan atau tidur, minum dan mengulang jima’ yang diperbaharui.”
Ini juga yang diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Abi Said dari Nabi saw beliau bersabda: “Barang siapa telah mempergauli istrinya, kemudian bermaksud mengulanginya lagi (untuk kedua kali) maka hendaklah ia berwudhu.”
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim, menerangkan bahwa berwudhu sebelum jima’ dapat menambah semangat: “Bahwasannya wudhu itu dapat menambah semangat untuk mengulangi (jima’).”
Alhafidz selanjutnya menerangkan: ”Hal ini diperkuat dengan hadits Anas dalam Shahihain, bahwa Nabi sa. berkeliling mempergauli isteri-isterinya dengan mandi yang satu.” []
Sumber: Taudlihul Adillah/Karya: Muallim KH. Syafi’i Hadzami