Oleh: Anjar Ariansyah
SAAT kesulitan menghampiri seseorang, sesungguhnya mereka akan merasakan kemudahan sesudahnya. Namun sayang sekali tidak banyak yang mengerti dan menyadarinya. Saat mendapat kesulitan tidak jarang kita menjauhinya.
Suatu ketika Abu Ubaidah Bin Jarrah menulis surat kepada khalifah Umar bin Khattab. Gubernur Syam yang terkenal zuhud itu mengabarkan bahwa tentara Rum sedang mempersiapkan tentara yang sangat besar untuk menyerang umat Islam. Maka Khalifah Umar menjawab surat Abu Ubaidah dengan ungkapan lugas, “Amma Ba’du, sebesar apapupun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman, maka Allah pasti akan melepaskannya juga dari kesukaran itu, karena satu ‘usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua Yusran (kemudahan).”
Satu “Usrin” (kesulitan) tak akan mengalahkan dua “yusran” (kemudahan). Umar begitu yakin terhadap apa yang ia katakan tersebut, karena Umar berpegang kepada apa yang pernah di sabdakan oleh Rasulullah, “Bergembiralah kalian karena akan datang kemudahan bagi kalian. Kesusahan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu jarir yang bersumber dari al-Hasan.)
Dua Kemudahan?
Dalam riwayat Ibnu Jarir, Hadist “dua kemudahan dalam satu kesulitan” tersebut, disampaikan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menerima wahyu dari Allah Surat Al-Insyirah ayat 5 – 6, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah 5-6 )
Ada dua hal substansif yang bisa kita renungkan dari pengulangan ayat tersebut.
Pertama secara kontekstual.
Sebuah pesan bila disampaikan berulang-ulang, mengartikan betapa pentingnya pesan tersebut. Seperti pengulangan pesan untuk bersyukur “fa biayyi ‘alaa i rabbikumaa tukaddzibaan” dalam surat Ar-Rahman, pesan untuk membaca kemudahan di dalam kesulitan di surat Al-Insyirah diatas adalah hal pokok dalam hubungan hamba dengan Rabbnya. Bahwa tidak adanya rasa syukur dan ketidakmampuan membaca kemudahan di dalam kesulitan, akan menyebabkan seorang manusia rusak jiwanya+berpotensi makin jauh dari Allah.
Karena tak mampu membaca kemudahan di dalam kesulitan,seorang hamba telah menjadi pribadi yang tidak pernah mensyukuri nikmat,mengeluhkan takdir dan gampang putus asa.
Sebuah pesan yang disampaikan berulang-berulang, juga karena besarnya kemungkinan pesan tersebut tidak di taati.Ya, kenyataannya kita memang sulit –atau tepatnya enggan- untuk bersedia membaca kemudahan-kemudahan lain yang sudah Allah berikan.Kita lebih sibuk meratapi kesulitan itu daripada menyediakan waktu untuk mensyukuri nikmat atau membaca kemudahan-kemudahan yang sudah diberikan Allah.
“Ada dua kemudahan bersama satu kesulitan” sebagaimana yang disabdakan nabi juga bisa dibaca secara tekstual dari susunan ayat 5-6 surat Al-Insyirah tersebut. Kata “kemudahan” di dalam surat tersebut menggunakan kata “Al-Usri”. Dalam kaidah bahasa Arab, awalan “Al-” mengartikan kata tersebut adalah kata sifat khusus (isim makrifat). Sedangkan “kemudahan”, yaitu “yusron”, menggunakan kaidah penulisan kata sifat umum (Isim Nakirah). Nah, dalam kaidah bahasa Arab, kata sifat umum (isim nakirah) yang disebut dua kali, menjelaskan lebih dari satu sifat atau keadaan. Dalam konteks ayat tersebut, berarti ada dua bentuk kemudahan. Sedangkan kata sifat khusus (isim makrifat) walaupun disebut dua kali, tetap menjelaskan satu sifat saja.
Oleh karena itu ayat tersebut bisa kita baca dengan pemahaman berikut. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan “A” itu ada kemudahan “A”, sesungguhnya sesudah kesulitan”A” itu ada kemudahan “B”.” (QS. Al-Insyirah 5-6)
Maka dalam kesulitan “A”, tidak hanya ada kemudahan “A” tapi juga ada kemudahan “B”. Itulah yang dimaksud Rosulullah, pasti ada dua kemudahan dalam satu kesulitan. Wallahu ‘Alam..
Membaca Kemudahan Dalam Kesulitan
Trus kenapa kita selama ini merasa tidak bisa menemukan dua kemudahan itu saat kita mengalami kesulitan.Ada dua hal yang menjadi alasannya.
Pertama, kita belum memiliki kunci cara membaca “kemudahan di dalam kesulitan” (dibahas di menu utama 2).Kedua, kita terlalu sempit menerjemahkan bentuk kemudahan yang diberikan oleh Allah kepada kita. Kemudahan selalu kita persepsikan berupa beresnya semua persoalan duniawi kita. Urusan-urusan duniawi, selalu mendapat ranking teratas dalam urusan yang selalu kita tagih dari Allah.
Padahal, kalau kita meyakini akan adanya negeri akhirat nan kekal, semestinya kita menerjemahkan karunia kemudahan itu dalam konteks dua alam tersebut. Dunia dan akhirat. Sebagaimana yang sering kita baca setiap ba’da sholat, “..Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Albaqarah : 201)
Dengan kejernihan hati, mari membaca kemudahan yang Allah “selipkan” di dalam setiap ujian yang kita terima. Urutan-urutan dari nomer 1 sampai 5, menunjukkan tingkat keberhargaan kemudahan yang Allah berikan. Tapi mungkin justru yang paling sering dilupakan.
1. Kemudahan untuk diakuinya keimanan
Siapapun orang yang ber-KTP Islam, pasti semuanya mengaku beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bila ditanya apakah anda beriman?, pasti dengan lantang kita menjawab “ya, saya beriman”. Tapi pertanyaannya, di mata Allah azza wa jalla, apakah Allah benar-benar memandang kita sebagai orang yang beriman? Sehingga layak menikmati Surganya? Ketahuilah bahwa Allah telah mengingatkan di dalam Al-Qur’an. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah : 214).
Maka hakikatnya ujian itu mendatangkan kemudahan bagi kita untuk mendekati Surga. Disinilah kita semestinya bisa membaca maksud dari “ada kemudahan dalam kesulitan” tersebut.
2. Kemudahan tergugurnya dosa-dosa
Kita semua pasti tidak pernah lepas dari perbuatan dosa. Yang sengaja maupun tidak sengaja. Diantara dosa-dosa itu, ada dosa yang tak bisa dihapus dengan mengucap istighfar, tak bisa dihapus dengan sedekah, atau dengan sholat malam. Dosa itu hanya bisa dihapus dengan “kesabaran kita menerima ujian”. Rasulullah bersabda, “Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan Alloh akan menghapus dosa-dosanya dengan peristiwa-peristiwa itu (HR. Bukhari).
Jika kita meyakini adanya hari perhitungan amal kelak di akhirat, kemudahan untuk menghapus dosa lewat musibah itu mestinya disadari pula sebagai “kemudahan di dalam kesulitan”.
3. Kemudahan kemampuan membaca hikmah
Ketika ditimpa ujian, setiap orang berbeda-beda dalam menyikapinya. Ada yang bingung, kalut, bahkan berujung kufur. Ada yang menyikapinya dengan tenang. Selalu saja, tanpa dibuat-buat, dia lancar dan lugas menceritakan hikmah yang dia petik dari musibah yang dia terima. Sesuatu yang dimata orang lain negatif, dia sanggup melihat dampak positif yang akan diterimanya kelak.
Kemudahan membaca hikmah dibalik ujian ini tak semua orang bisa melakukan. Semua orang boleh mengatakan “saya mendapat hikmah begini dan begini”, Tapi hati tak bisa dibohongi, kalau sejujurnya mereka masih lebih banyak kalut dan putusasanya daripada membaca hikmahnya. Ya, karena kemudahan membaca hikmah bukanlah sekedar bahan cerita kepada orang lain supaya kita dilihat sebagai orang yang arif.
Kemudahan membaca hikmah sepenuhnya adalah karunia dari Allah. Yang masuk kedalam hati. Bukan dipaksa-paksakan oleh lisan. Allah ta’ala menyebut kemudahan membaca hikmah itu sebagai karunia yang besar, “Allah menganugerahkan al hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah : 269)
Maka boleh jadi ujian itu belum selesai, tapi Allah telah mendahulukan satu kemudahan dengan menggerakkan hati kita membaca hikmah di balik ujian tersebut. Bukankah ini sebuah kemudahan di tengah kesulitan?
4. Kemudahan berupa ketenangan hati.
Tidak bisa tidak, bagi orang yang bersedia membaca (mensyukuri) kemudahan di dalam kesulitan, ia akan mendapatkan ketentraman hati. Boleh saja ujian yang mereka terima begitu dahsyat. Tapi nyatanya, jiwanya masih terlihat tegak. Orang lain masih berkesempatan menerima senyumannya, dia masih punya waktu mendidik, bercengkrama, mencandai anak dan istrinya, masih bisa sholat dengan khusyuk.
Inilah kemudahan paling berharga yang dimiliki oleh orang-orang beriman. Ujian pasti datang lagi, entah kapan. Ia sadar, meminta jalan keluar tanpa adanya anugerah ketenangan hati adalah sama dengan menunda kesedihan saja. Sebab, selama masih hidup di dunia, ujian dan musibah akan terus datang menghampiri.
Bila suatu saat kita mendapati hati kita seperti itu, maka bacalah itu sebagai satu kemudahan di dalam kesulitan. Sebuah nikmat besar. Lebih besar dari diangkatnya ujian itu sendiri.
5. Kemudahan menemukan jalan keluar
Kemudahan menemukan jalan keluar. Pahamilah itu bukan semata-mata dari hasil usaha kita. Segalanya datang dari Allah dan segalanya akan kembali kepada Allah. Ujian itu akan terangkat, kalau Allah berkehendak mengangkat. Sebaliknya, sekeras apapun usaha kita, bila Allah tidak mengangkat ujian itu, maka usaha kita seperti menabur garam di air laut. Tidak ada gunanya.
Kekuatan fisik, kejernihan pikiran, ketahanan mental atau datangnya orang-orang yang menjadi penolong, semuanya tidak terlepas dari Iradah (skenario) Allah. Allah ta’ala berfirman “…Barangsiapa bertakwa kepada Alloh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya…” (QS. At-Thalaaq 2:3)
Maka pandanglah “kemudahan dalam kesulitan” itu secara arif dan luas.Masih ada banyak kemudahan lagi kalau kita mau dengan sungguh-sungguh untuk membacanya. Adillah kepada ruh kita sendiri yang sejatinya tak hanya membutuhkan penyelesaian urusan di dunia saja, melainkan akhirat pula. []