Oleh M. Anwar Djaelani,
Penulis buku “50 Pendakwah Pengubah Sejarah”
HARI-hari akhir Hari Moekti (HM), sungguh indah! Pertama, pesan terakhir HM adalah, “Teruskan dakwah Islam!” Kedua, di tiga hari sebelum meninggal, kegiatan dakwah HM padat. Ketiga, HM –bisa dibilang- meninggal di jalan dakwah. Keempat, meski terbaring di Rumah Sakit, HM tetap bersemangat membicarakan masa depan dakwah.
Hijrah dan Dakwah
Mari kenang sekilas perjalanan HM yang lahir pada 25/03/1957 dan meninggal pada 24/06/2018. Jalan hidup HM, berliku. Penuh tikungan, mulai dari sebagai murid yang pernah menakali guru dengan granat kosong, menjadi Room Boy di salah satu Hotel di Semarang, bermusik di Bandung, dan mencapai popularitas setelah bermusik di Jakarta.
HM –yang bersuara khas dan berperforma energik di panggung- beken pada 1980-1990-an. Pelagu “Ada Kamu” itu punya jadwal manggung padat. Di masa itu, dia justru susah menolak uang datang.
BACA JUGA: Harry Moekti, Rocker yang Jadi Da’i
Kehidupan HM berubah berseiring dengan statusnya sebagai pesohor. Sebagai idola, penampilannya ditiru remaja. Sayang, HM -pelantun “Hanya Satu Kata“ itu- tidak bahagia. Padahal, di saat itu, beragam amal kebajikan –seperti menyekolahkan banyak anak yatim dan menyumbang Panti Asuhan- sering dilakukannya.
Dia tak tenang meski berlimpah harta dan ketenaran. Dia iri kepada artis yang dibayar lebih tinggi. Dia dengki kepada teman yang bermobil lebih mahal. Dia sering gelisah.
Puncaknya, lantaran stres, HM ingin bunuh diri. Caranya, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan ekstrem yang beresiko tinggi: panjat tebing, arung jeram, menyelam, dan terjun payung. Namun, itu tak berujung seperti yang diharapkannya.
Lalu, datanglah momentum tak terlupakan. Di 1995, HM bertemu ustadz yang cerdas dan argumentatif penjelasannya. Ustadz itu mampu menjawab semua pertanyaan dan kegelisahannya. HM-pun tenang. Dia lalu hijrah, dengan giat belajar agama dan aktif berdakwah.
Akhir 1995 HM keluar dari zona keartisan dan fokus berdakwah. Dia mundur bukan di saat pesona keartisannya memudar, tapi justru ketika dia berada di puncak popularitas. “Aku harus tobat,” tekad HM. Inilah demonstrasi ketundukpatuhan seorang hamba Allah. Dia tak takut kehilangan popularitas dan uang sebab yakin akan jaminan Allah atas manusia yang bertaqwa.
Tapi, langkah dakwah tak akan sepi dari ujian. Pada 1997, sebagian pihak memboikot HM. Pada 1998-1999, suram melingkupinya. Rumah tangga (dengan istri pertamanya), hancur! Usaha, ambruk! Uang, habis!
Masa bangkrut itu dimaknai HM sebagai cara Allah dalam memberikan jalan taqwa kepadanya. Dia-pun ingin seperi Umar bin Khaththab Ra. Dia mengharuskan dirinya untuk bangkit dan tak perlu berketerusan menyesali apa-apa yang sudah terjadi.
HM istiqomah di jalan dakwah. Pernah, datang godaan, berupa ajakan untuk kembali ke “dunia lama”. Maka, terjadilah dialog yang lugas.
“Anda dapat apa dari dakwah?”
“Terkait rezeki, cicak saja bisa mendapatkannya.”
“Ah, sok ustadz.”
“Bagus itu, ketimbang Anda yang sok kafir.”
Selanjutnya, HM terus mengais hikmah. Di tengah keterpurukan, HM justru dapat lebih mendalami Islam dan memiliki kesempatan berdakwah yang lebih lapang. HM-pun mulai merasa bahagia.
BACA JUGA: Belajar kepada Mereka yang Berhijrah
Sekarang, kembali ke paragraf pertama tulisan ini, yang dibuka dengan kalimat: “Hari-hari akhir Hari Moekti (HM), sungguh indah!” Mari, berkesaksian!
Pertama, “Pesan Terakhir Hari Moekti: Teruskan Dakwah Islam” (www.detik.com 25/06/2018). Sepertinya, HM telah menikmati indahnya undangan Allah ini: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (QS Fushshilat [41]: 33).
Kedua, di tiga hari sebelum meninggal, kegiatan HM padat dengan dakwah. Pada 22/06/2018, HM berdakwah. Dia sampaikan, agar kita sering mengingat mati dan harus menyiapkan bekal dalam menghadapinya. Caranya, “Nikmatilah hidup, dengan mau diatur Allah lewat Syariat-Nya,” kata HM.
Ketiga, HM –bisa dibilang- meninggal saat berada di jalan dakwah. Pada Ahad 24/06/2018, HM bersama keluarga tinggal di salah satu hotel di Cimahi. Sebab, esoknya -Senin 25/06/2018- di Masjid ABRI Cimahi HM akan memberi kajian berupa “Hijrah Story”. Tak terduga, di Ahad malam itu dia terjatuh dan lalu meninggal sekitar pukul 20.49 di perjalanan menuju Rumah Sakit.
Atas momentum saat HM meninggal, sangat menarik penuturan Moekti Candra, bahwa “Aktivitas beliau selama ini dakwah dan dakwah. Cita-cita beliau yang terbesar adalah meninggal di jalan dakwah. Memang, besok (Senin 25/06/2018) beliau punya amanah mengisi kajian di Masjid ABRI Cimahi. Namun Allah berkehendak lain”.
Keempat, meski terbaring di Rumah Sakit, HM tetap bersemangat membicarakan masa depan dakwah. Tak jauh sebelum HM meninggal -yaitu sebelum Ramadhan 2018-, HM dirawat di Rumah Sakit. Lewat video bisa kita saksikan, di saat itu HM masih bersemangat berbicara tentang dakwah. HM bilang, sekarang dia berusia 61 tahun, yang jika sampai dua tahun lagi akan seusia dengan Rasululah Saw saat wafat. Jika –misalnya- Allah beri kesempatan dua tahun lagi, HM berharap bahwa itu cukup baginya untuk meneruskan dakwah. Alhasil, bagi HM, sakit tak boleh menghalangi untuk berdakwah.
Masih di kesempatan itu, HM bilang, tsunami itu bencana kecil. Bencana besar ada di masalah aqidah. Ada pemurtadan di mana-mana. Atas itu semua, HM berdoa agar Allah “Panjangkan umurku dalam dakwah”.
BACA JUGA: Ustaz Harry Moekti Meninggal Dunia, Ini Cita-cita Besar Almarhum
Video itu berakhir dengan doa HM. Adapun penutup doanya adalah permohonan agar diberi kebaikan di dunia dan akhirat, serta dijauhkan dari siksa neraka.
Sampai Mati
Hari Moekti dimakamkan di lingkungan Pesantren Al-Inayah, Caringin – Bogor. “Beberapa jam setelah dikebumikan, langit Bogor pun menangis,” tulis www.jawapos.com 25/06/2018.
Kini, di memori ada Hari Moekti, yang ikhlas meninggalkan kemewahan dan ketenaran demi dakwah. Tugas kita, melanjutkan langkah dakwah Hari Moekti sampai putaran dunia berhenti. []
BACA JUGA: Perjalanan Hidup Harry Mukti, Dari Musisi Jadi Dai