Oleh: Diarisma Wibowo, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Menjadi ketua umum Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).
HARI ini Nila tidak masuk kuliah. Entah apa yang menangkalnya. Mungkin dia masih marah padaku. Semua itu membuatku bingung dan membuatku merasa tidak tenang. Aku berusaha mencari tahu keberadaanya dengan melihat media sosial yang ia masuki. Tak selang beberapa lama, mataku terpaku pada foto yang menggambarkan dua orang -lelaki dan perempuan, sedang berpelukan.
Itu Nila, bersama seorang lelaki. Pada note-nya tertuliskan “Mau jalan-jalan dulu ya.” Suasana itu membuatku meradang. Kupalingkan wajah dari layar handphone dan memasukannya ke dalam tas. Hatiku sudah tak mau memperdulikannya dan aku terdiam sesaat, kemudian berusaha bangkit dan berniat pulang.
Tapi, belum juga tubuhku berdiri tegap, tiba-tiba getaran handpone menjadi penarik perhatianku. Ibu menelpon, beliau mengabarkan Nila masuk rumah sakit karena kecelakaan dan aku diminta segera pulang. Berita itu laksana petir di siang bolong, menyambar-nyambar tak karuan dan membakar seluruh isi dunia. Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas keluar kampus dan menuju rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit, langsung kucari ruangan tempat Nila dirawat. Berharap dia baik-baik saja tanpa luka yang serius. Namun, belum saja aku sampai di depan pintu ruangan Nila dirawat, terlihat keluarga Nila dan keluargaku terduduk lemas, menangis dengan meronta-ronta. Seruan nama Nila berkali-kali dengan sangat jelas aku dengar.
“Apa ini, apa ini?” hatiku berguman tak karuan. Ibu segera menghampiriku dan memeluk dengan erat.
“Tenang ya, Wi. Tenang. Semua sudah jalan-Nya.” Suara ibu terdengar menenangkanku
”Ad…” Belum sempat aku menuntaskan kekataku, ibu langsung menjawabnya dengan suara yang parau.
“Nila ,Wi. Nila. Dia sudah meninggal akibat kecelakaan. Kamu yang sabar ya nak!” Suara ibu terbatah-batah mengatakan itu.
“Apa? Tidak! Ini tidak mungkin, Bu. Nila!” Aku menjerit histeris setelah mendengar ucapan ibu. Serasa ini hanyalah khayalan yang belum pasti. Segera aku berlari dan masuk ke dalam ruangan Nila. Tubuh ini terasa kaku, lemas tak karuan. Terpampang kain putih terbentang lurus dihadapanku. Hati terasa pedih, ada sobekan-sobekan kecil yang bermandikan air jeruk.
“Ini tidak mungkin! Tidak mungkin!” Hatiku masih berbisik akan itu. Masih berharap dan menyakini bahwa ini bukan Nila. Tanganku bergetar dan terasa bergerak dengan sendirinya. Berusaha menarik kain yang bernodakan warna merah padam itu. Berusaha mencari tahu dan membuktikan bahwa itu bukanlah Nila.
“Aaaakkkkk….” Tiba-tiba seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Aku merasa ruangan ini berputar dan bergetar, yang terasa hanyalah kehampaan.
Mataku berkunang-kunang, gambaran embun terasa menempel di pelupuk mata. Langit-langit, cat dan semua yang aku lihat sekarang terasa tidak asing. “Ini kamarku. Apakah semua yang terjadi tadi adalah mimpi. Benarkah? Aku masih ingat, bahwa yang tadi aku lihat jelas Nila, dengan wajah yang sudah hampir tak dikenali dan bagian-bagian tubuh tak menyatu. Ahh, tidak mungkin,” gumanku dalam hati.
Aku berusaha bangkit dan bergegas mencari ibu. Sepi, tak ada sahutan dari setiap kata yang terucap. Lalu aku bergegas menuju rumah Nila. Ramai, banyak orang-orang yang memakai baju hitam. Jantung berdetak hebat, anganku menyatukan perihal mimpi tadi dan apa yang kini terlihat. Aku berlari ke rumah Nila, melewati orang-orang tanpa memperdulikan mereka.
“Ini tidak mungkin, tidak mungkin. Nnniillaaaaa”
Deretan para warga yang ikut mengantar jenazah Nila memenuhi jalan-jalan pedesaan. Hujan tangis dari sanak-saudara pun tak kunjung reda. Sedang di atas sana, warna hitam pekat sudah rapi berkumpul hebat. Laksana beban yang sudah terlalu berat dipikul, hinga akhirnya akan jatuh berserakan. Semua terasa mati, tak ada suara tawa untuk saat ini. Burung-burung gagak menjerit kuat di atas pepohonan, bagaikan nyayian sakral yang melepaskan hidup di antara bahagia.
“Tidakkah engkau terlalu cepat. Menegak senyum yang baru kita rajut, melahap mimpi yang telah kita ukir. Masih membesit dalam hati, jika itu bukanlah salah, maka murkaku ialah duka.”
Satu minggu telah berlalu. Sepeninggalan Nila yang tak pernah terpikir olehku, aku menjalani hidup dengan hampa. Jasadku masih berdiri, namun jika diraba lebih erat, itu hanyalah daging tanpa darah. Sedikit saja, aku masih berusaha mengatakan bahwa ini adalah mimpi. Membiarkan waktu belalu-lalang dan aku bangun dengan kain yang lusuh.
Langit masih berduka, meronta-ronta dengan liar dan menjatuhkan beban yang tidak berkesudahan. Mataku masih berat, badanku terasa kaku. Anganku tenggelam pada mimpi yang kutangkap tadi malam. Tentang sosok yang tak mungkin kembali, pada suara yang tak asing aku dengar.
Itu Nila, dia datang dengan badan yang penuh dengan luka. Baju yang compang-camping, lalu deretan rantai membelenggu pada setiap lingkar kakinya. Suarannya parau, matannya hitam dan nafas yang menandakan ia sendang tersenggal-senggal. Ingatanku memutar tajam tentang apa yang aku dengar. Serasa rintihan tangis dan jerit, lalu kata mohon beriringan.
“Dewi, tolong aku. Hapuskan semua jiplakkan diri dalam album sosialku. Rincian nama dalam dunia dan ucapkan pinta pada semua. Aku menyesal, pada kalam yang tak pernah kuperhitungkan. Pada khilaf yang sengaja aku ciptakan. Aku mohon, tolong hapuskan semua noda yang aku sisakan. Ragaku memang nyata, tapi nyawaku tanpa arah. Berserak, berhamburan dan tanpa tujuan. Aku mohon! Aku mohon dewi!”
Hanya itu yang aku ingat, kebenaran yang belum pasti adanya. Namun sakral jika kulalaikan. Aku tak pernah tahu rincian kode, pasword atau kunci-kunci pergaulannya. Semua telah dia susun dengan sendiri dan kini ia dapati dengan pedih.
Beberapa hari lalu ibu Nila juga sempat membicarakan akan hal ini. Dia bercerita tentang Nila yang memohon ampun dan meminta tolong untuk membantunya agar semua foto, gambaran dan hal tentang dirinya yang telah dia masukan dalam akun-akun sosmednya dihapus. Tapi semua hanyalah omong kosong. Kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kami tidak pernah tahu tentang rincian password atau sandi-sandi Nila di dalam setiap akun-akunnya.
“Maafkan aku, teman. Dalam sesal yang tak bisa aku hitung, pada lelah yang kini aku pikul. Sampai di sini, aku masih tetap menjadi yang tak berguna untukmu.” []
Ranah KOMPAK, Oktober 2015
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word