DEPOK—Pada hari kedua Pertemuan Ulama dan Da’i se-Asia Tenggara, Afrika dan Eropa ke-5 di Depok, Jakarta, dibahas isu penting soal sebab-sebab perselisihan di tengah umat Islam.
Dosen Universitas Ummul Qura Mekkah Dr Fakhruddin Az-Zubair menjelaskan, sebab-sebab tersebut berasal dari kezaliman dan kebodohan.
Kezaliman, jelasnya, terbagi menjadi tiga, yakni kezaliman terhadap Allah, terhadap diri sendiri, dan terhadap saudaranya.
BACA JUGA: Dihadiri 500 Peserta, Multaqa Ke-5 digelar di Jakarta
Tingkat kezaliman pertama adalah yang paling buruk, yang menyebabkan munculnya kesesatan. Keyakinan menyimpang di tengah umat menurutnya memang masalah besar bagi kaum Muslimin.
Kendati demikian, beliau mengetengahi, hal itu tidak semestinya disikapi reaktif oleh umat.
Beliau pun memberi contoh, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun ketika fase Madinah tetap melakukan interaksi dengan orang-orang yang bahkan tidak bersyahadat-dengan batas-batas tertentu.
“Contohnya perjanjian-perjanjian Nabi dengan orang-orang Yahudi, serta akomodasi Nabi terhadap orang-orang Munafik. Apalagi perselisihan akidah yg sifatnya internal ahlul kiblat (sesama Muslim). Harusnya lebih bisa untuk tidak menyebabkan kita berpecah,” jelas ulama Sudan dari itu, melansir kantor berita yang diinisiasi JITU, Islamic News Agency (INA).
Sementara zalim terhadap diri dan saudara sendiri merupakan dampak dari kezaliman pertama.
Lebih lanjut beliau menjelaskan, kezaliman-kezaliman itu pun telah menjatuhkan orang-orang pada kebodohan yang setidaknya terbagi secara umum menjadi tiga.
Pertama, kekeliruan terhadap pemaknaan ayat-ayat al-Quran dan As-Sunnah (hadits), lalu terhadap penghukuman realita dengan dalil (ta’shil), terakhir yakni kebodohan dalam menempatkan dalil dalam realita (tanzil).
Tiga kebodohan itu yang menurutnya tengah menjadi momok tersendiri bagi sesama Muslim, yakni ketika tidak menempatkan dalil pada konteks yang tepat.
“Imam Bukhori meletakkan dalam Shahihnya, bab mengenai mengkhususkan ilmu bagi sebagian kaum saja. Dikhawatirkan orang lain (awam) tidak dapat memahaminya,” katanya.
Dr Fakhruddin menceritakan, suatu ketika ada seorang perempuan ingin masuk Islam. Tetapi perempuan tersebut mensyaratkan agar dibolehkan masih bermain dengan anjing.
BACA JUGA: Zaitun Rasmin: Pertemuan Dai dan Ulama Internasional, Perkuat Persaudaraan Muslimin
“Secara ideal, muslim tidak boleh bermain-main dengan anjing. Kalau kita katakan tidak boleh, bisa saja dia tidak jadi masuk Islam. Padahal bermain-main dengan anjing hukumnya dosa, sementara tetapnya dia dalam kekafiran adalah kekufuran,” paparnya.
Dalam konteks itu dia mengakhiri penjelasannya dengan pertanyaan, “Lebih baik dia masuk Islam atau tetap pada kekafirannya?” tanya Syaikh Fakhruddin. []
SUMBER: INA