KETAKWAAN dan keimanan adalah pondasi utama dalam kehidupan beragama. Ketakwaan berhubungan dengan rasa takut dan cinta kepada Allah, dan keimanan adalah rasa yakin terhadap Islam.
Keimanan adalah salah satu hal yang paling inti dalam beragama yaitu sebagai alat kendali perilaku dan pikiran agar selalu menghasilkan sesuatu yang positif. Seseorang disebut beragama selama dia masih memiliki iman. Tanpa iman, tidak akan ada nilai agama yang mewarnai tutur kata, perilaku, dan pikirannya.
BACA JUGA: Soal Hidayah, Ini Nasihat Ustaz Derry Sulaiman
Keimanan bersifat fluktuatif, bisa berkurang atau bertambah. Ia akan berkurang dengan maksiat, dan akan bertambah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
Ketika iman telah terkikis dan terlepas dari hati, orang bisa melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan akibat. Apakah perbuatannya akan berdampak positif atau negatif bagi dirinya dan orang lain, dia tidak akan peduli. Dalam kondisi demikian, seseorang akan mudah terseret kepada kekufuran.
Al-Qur’an menggunakan kata yang berasal dari akar kata yang sama untuk menjelaskan pengingkaran terhadap perintah serta larangan Allah, dan pengingkaran terhadap nikmat-nikmat Allah, yaitu kata kafara. Seperti penggunaan kata fa kafarat bi an’umillaah yang terdapat dalam surah an-Nahl ayat 112. Kata kafarat aslinya adalah kafara (ditambahi ta’). Sedangkan kata an’um adalah bentuk jamak dari kata ni’am (nikmat). Artinya, mereka kufur terhadap nikmat-nikmat Allah.
Berdasarkan pola penggunaan kata ini dalam al-Qur’an, para ulama membagi kekufuran dalam dua kategori, al-kufr al-akbar (kekufuran besar/murtad) dan al-kufr al-ashghar (kekufuran kecil/tidak sampai murtad).
BACA JUGA: Bertakwalah Kamu di Mana Saja
Dr. Shalih al-Fauzan dalam buku As’ilah wa Ajwibah fi Masaa’ilil Iimaani wal Kufr (Tanya Jawab Seputar Masalah Keimanan dan Kekafiran), mengatakan bahwa, seseorang dianggap telah melakukan al-kufr al-akbar (murtad) bila dia berperilaku dan bertutur kata yang dapat membatalkan keislaman, menganggap ada tuhan selain Allah, dan tidak yakin dengan perkara-perkara gaib yang Allah SWT jelaskan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dia juga mengatakan bahwa, manusia menilai keimanan dan kekufuran seseorang dari apa yang tampak dari perilaku dan perbuatan, serta apa yang didengar dari tutur katanya. Tidak dari apa yang terbersit dalam hatinya. Karena yang mengetahui isi hati hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, hukum yang berlaku di pemerintahan atau negara Islam, orang yang tutur kata dan perbuatannya bisa membatalkan keislamannya dianggap murtad.
Orang yang tutur kata dan perbuatannya lebih menonjolkan simbol-simbol kekufuran, seperti mengakui adanya nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW, maka dia telah murtad. []
SUMBER: Kerajaan Al-Qur’an/Hudzaifah Ismail/Penerbit: Penerbit Almahira/2012