TEL AVIV—Parlemen Israel atau Knesset mengesahkan Undang-Undang (UU) segregasi atau pemisahan etnis Yahudi dan Arab pada Kamis (19/7/2018). Undang-undang yang dikenal dengan sebutan ‘Jewish Nation-State’ tersebut didukung oleh pemerintah sayap kanan.
“Ini adalah momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan sejarah negara Israel,” kata Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kepada Knesset setelah pemungutan suara.
BACA JUGA: Ehud Barak: Netanyahu Ancaman bagi Israel
Sebelumnya pada Rabu (18/7/2018) malam, anggota Partai Likud Amir Ohana, yang memimpin komite dan mengetuk palu pengesahan UU, menyatakan, proses pengesahan UU adalah momen bersajarah bagi negara Israel.
“Israel sebagai satu-satunya negara bagi bangsa Yahudi,” kata Amir.
Undang-undang disahkan dengan dukungan 62-55 suara dan dua abstain di Knesset yang beranggota 120 orang. Sebelum pengesahan terjadi setelah melalui perbedatan politik selama berbulan-bulan.
Yang paling marah dalam perdebatan di parlemen adalah para anggota dari kalangan Arab. Anggota dari Partai Joint List, Jamal Haika bahkan merobek kopian naskah UU tersebur di podium Knesset.
“Saya mendeklarasikan dengan rasa terkejut dan sedih atas matinya demokrasi. Kuburan (demokrasi) kini bertempat di parlemen ini,” kata Ahmad Taibi, rekan Jamal, seperti dikutip dari Times of israel.
Adapun poin-poin dalam UU ‘Jewish Nation-State’ itu adalah sebagai berikut:
Israel adalah tanah air bersejarah dari orang-orang Yahudi
Yerusalem adalah ibu kota Israel
Menetapkan kalender Yahudi sebagai kalender resmi nasional
Mencabut bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Hanya bahasa Ibrani sebagai bangsa resmi Israel
Memarjinalkan 1,8 warga Palestina atau 20 persen dari sembilan juta penduduk Israel
UU itu disinyalir akan mengakibatkan Knesset terbelah, karena di antara anggota parlemen menilai beleid itu akan meniru kebijakan apartheid. Salah satu yang mengkritisinya adalah anggota partai Meretz yang berhaluan kiri, Tamar Zandberg.
“UU itu diambil dari tempat di mana kebijakan apartheid selama ini disimpan,” kata Tamar, seperti dikutip dari Independent.
Duta Besar Uni eropa untuk Israel, Emanuele Giaufret, menilai UU itu berbau rasisme.
“UU itu akan membuat Israel berjarak dengan norma-norma yang selama ini diterapkan di negara-negara demokrasi.”
Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, menyebut undang-undang tersebut sebagai upaya untuk memajukan superioritas etnis dengan mempromosikan kebijakan rasisme.
Penduduk Arab Israel sebagian besar terdiri dari keturunan orang-orang Palestina yang tinggal di tanah mereka selama konflik antara orang Arab dan Yahudi dalam perang 1948, atau pada saat pembentukan negara Israel kala ratusan ribu orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka atau melarikan diri.
Populasi bangsa Palestina di Israel terdiri dari yang paling utama adalah para korban perang 1948 yang tetap memilih bertahan di tanah mereka. Permukiman mereka mengelilingi permukiman modern Israel yang ada saat ini.
Zionis memiliki kontrol penuh atas tanah para warga Pelestina di Israel. Di bawah UU yang baru, para warga Israel keturunan Palestina sebenarnya tetap dijamin hak berwarganegaranya, namun mereka mengaku menghadapi ancaman diskriminasi dalam hal hal pelayanan publik, alokasi jaminan pendidikan dan kesehatan yang tidak adil, serta dalam hal kepemilikan rumah.
BACA JUGA: Dianggap Rasis, RUU ‘Hanya Yahudi’ Ditentang Presiden Israel
Warga Arab di Ma’alot-Tarshiha, sebuah kotamadya di Israel utara, marah atas pengesahan undang-undang itu.
“Saya pikir ini adalah undang-undang rasis oleh pemerintah sayap kanan radikal yang menciptakan hukum radikal, dan menanam benih untuk menciptakan negara apartheid,” kata Bassam Bisharah (71).
Warga lainnya, Yousef Faraj (53 tahun) dari desa Druze di dekatnya, Yanuh, menyebut tujuan dari undang-undang tersebut adalah diskriminasi. Pemerintah Israel ingin menyingkirkan orang Arab secara total.
“Orang-orang Israel ingin menghancurkan semua agama orang-orang Arab.” []
SUMBER: REUTERS