KETUHANAN merupakan aspek paling penting dalam akidah Islam. Ia menjadi ushuluddin (pondasi agama) yang seluruh keyakinan lainnya bermula dan berakhir kepadanya.
Pengetahuan anak-anak tentang penciptanya ini juga merupakan hal terpenting, karena pengetahuan yang sejak dini biasanya terbawa hingga ke jenjang usia dewasa.
Anak umumnya bersifat teis, mengenal dan mempercayai Tuhan, dan umumnya kepercayaan itu dibawa sejak dari keluarga. Hanya saja ada terdapat perbedaan pengetahuan antara anak yang satu dengan lainnya, terutama yang berbeda usianya.
Anak-anak yang usia rata-ratanya enam, tujuh, dan delapan tahun, memperlihatkan bahwa pengetahuan mereka tentang Allah SWT yang paling diingat adalah sosok Tuhan sebagai pencipta.
Namun pada usia ini juga, ia mulai memahami bahwa Allah SWT memiliki kekuatan dan kemampuan yang Maha Besar. Kekuatan Tuhan selalu dibandingkan anak dengan kekuatan lain yang ada disekitarnya atau yang pernah dia kenal seperti dalam film-film yang ditontonnya.
Seorang guru agama bercerita bahwa salah seorang anak pernah bertanya mana yang lebih kuat antara Allah dengan power rangers?
Jika kita telusuri, salah satu yang menyebabkan anak-anak tersebut tertarik pada sosok Tuhan dikarenakan dalam benaknya Tuhan adalah sosok yang sangat kuat, dan penjelasan itulah yang ia dapat dari jawaban orang sekitarnya.
Ini menunjukkan bahwa anak sangat antusias mendengar cerita mengenai sosok atau tokoh-tokoh yang penuh dengan kehebatan dan kesaktian. Keadaan ini yang akan mendorongnya untuk lebih banyak mengetahui sosok Tuhan dengan berbagai atribut, kehendak, hukum dan perintah-perintah-Nya.
Hal yang paling menonjol juga, anak-anak usia enam sampai delapan tahun menggambarkan Tuhan dengan sangat positif, yakni penuh sanjungan, pujian, pengagungan, dan penghormatan yang sepenuhnya.
Namun semua itu belum mengakar dan mendalam di benaknya, meskipun ia mulai berkeinginan melakukan hal-hal yang dianjurkan dalam agama seperti ritual-ritual peribadatan dan tidak ingin jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan sejauh yang dilakukannya.
Pada awalnya, ritual keagamaan diikuti anak melalui tindakan orang tuanya. Shalat, misalnya, diikuti oleh anak tanpa diperintahkan orang tuanya, melainkan atas inisiatif pribadinya, disebabkan melihat perilaku orang tuanya yang selalu melaksanakan shalat.
Bahkan, sarana-sarana khas dalam shalat, seperti sajadah, peci, kain sarung, selalu diingat anak, jika orang tuanya lupa atau saat ia ingin mengerjakan shalat.
Ini menunjukkan perhatian besar anak terhadap dimensi keagamaan yang ada dalam keluarga, karenanya, orang tua dan seluruh anggota keluarga selayaknya memperhatikan seluruh perilakunya terutama yang berhubungan dengan etika dan ajaran agama.
Anak-anak umumnya akan merasa malu jika dituduh melakukan kesalahan, meskipun pada faktanya hal itu benar dilakukannya. Kondisi ini, memberikan gambaran bahwa kecenderungan terhadap agama mulai lebih mendalam pada usia delapan tahun.
Pada usia itu anak sangat menyenangi acara keagamaan dan lebih berusaha untuk senantiasa menyenangkan Tuhan dengan ibadah dan ketaatan dalam beragama. Ini dilakukannya sebagai usaha memperoleh ridha Tuhan yang maknanya disesuaikannya dengan penjelasan yang diperolehnya dari orang tua dan gurunya.
Akan tetapi, perbuatannya itu semua tidaklah semata-mata dari lubuk hatinya saja, ia memerlukan motivasi dan motivasi itulah yang lebih besar memengaruhinya.
Anak mengharapkan adanya imbalan bagi semua aktivitas yang dilakukannya, ini merupakan salah satu sifat egois anak. Imbalan yang diharapkan anak tidak saja berasal dari orang tua dan gurunya, tetapi juga ia mengharapkan imbalan dari Tuhan dalam bentuk yang nyata. Misalnya, jika mereka melakukan kesalahan, anak berharap agar Tuhan melindungi dirinya, agar tidak dihukum oleh orang tua atau gurunya.
Salah satu bentuk peribadatan yang paling sering diajarkan dan dikerjakan oleh anak adalah berdoa. Memang pada usia ini, ketergantungan anak sangatlah besar, sehingga permintaan dan pertolongan sangat mewarnai kehidupannya.
Sebab itu, doa dianggap menjadi sarana paling efektif untuk memenuhi tuntutan dan keinginannya. Satu hal yang paling jelas, kebanyakan permintaannya berbentuk konkret dan dapat dirasakan secara nyata, seperti kekayaan, kesehatan, pakaian, dan sejenisnya.
Perlu mendapat perhatian, banyak anak berdoa, dan membandingkannya dengan tindakan orang tuanya. Di sekolah, melalui penjelasan gurunya, anak mengetahui bahwa Tuhan adalah Wujud yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang senantiasa mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya.
Di beberapa kalangan, orang tua selalu menghambat dan tidak memenuhi keinginan anaknya, karena itu, anak mengarahkan dirinya kepada Tuhan yang diketahuinya sangat pengasih. Akan tetapi, karena permintaan anak umumnya bersifat konkret dan ingin segera, seperti kekayaan, mainan atau makanan, maka mustahil pula dikabulkan Tuhan secara langsung.
Hal ini berdampak, pada pandangan anak, ternyata Tuhan juga seperti orang tuanya, pelit dan tidak memperhatikan keinginannya. Kondisi ini akan membekas dalam diri anak, dan selalu dikenangnya hingga dapat menjauhkan anak dari kesadaran beragama. []
SUMBER: LIPUTAN ISLAM