TAHLILAN. Mendengar kata yang satu ini selalu diidentikkan dengan kontroversi. Ritual yang biasa dilakukan dari hari pertama hingga ketujuh setelah meninggalnya seseorang ini, sejak dulu hingga sekarang terkenal selalu jadi tema yang paling banyak digemari oleh kalangan ‘akar rumput’ umat Islam untuk saling tikam, saling menjelekkan dan saling bertengkar.
Padahal Islam sendiri mengajarkan tentang pentingnya toleransi dan persatuan. Jangankan dengan sesama Muslim, dengan kalangan non-Muslim pun Islam tetap mengutamakan kebersamaan dan melarang perpecahan.
Sampai ada satu anekdot, “Jika ingin mengadu domba umat Islam yang sudah rukun agar saling cakar-cakaran, maka ajak mereka berdiskusi urusan tahlilan, dijamin akan terjadi perang saudara.”
BACA JUGA: Tasbih, Bolehkah Digunakan ataukah Bid’ah?
Kalangan anti-tahlilan mengharamkan tahlilan sampai ke akar-akarnya, sedangkan pihak pro-tahlilan akan membela mati-matian hingga tetes darah penghabisan. Berbagai macam caci maki antara kedua kubu biasanya terlontar di tengah perdebatan yang tak berujung.
Kalangan anti-Tahlilan
Kalangan anti-tahlilan punya ‘1001 cara dan hujjah’ untuk mengharamkan tahlilan, mulai dari menyebutnya bid’ah, syirik, budaya jahiliyah. Hingga ada yang mengharamkan makan nasi tahlilan, karena dianggap sama dengan sesaji atau sesembahan kepada jin. Kadang orang yang anti tahlilan sampai tidak mau bertegur sapa dengan ayah dan ibu kandungnya sendiri, hanya lantaran kedua orang tuanya dianggap kafir atau musyrik, yang disebabkan keduanya kerap menggelar atau ikut tahlilan. Na’udzubillahi min dzalik.
Bahkan saking amat bencinya mereka kepada kalangan pro-tahlilan, mereka melebihi benci terhadap Yahudi, Dajjal atau Iblis dan setan sekali pun, yang sudah jelas adalah musuh-musuh besar kaum Muslim. Mengapa hal seperti itu bisa terjadi?
Sederhana, jika seseorang telah didoktrin sejak pertama kali mengaji hingga 30-40 tahun kemudian, tema yang dibahas memang tidak pernah keluar dari memaki-maki kalangan pro tahlilan. Bahkan agenda dakwah paling utama dalam pandangan mereka cuma satu, yaitu bagaimana memberantas kemusyrikan, yang wujud nyatanya tidak lain adalah tahlilan.
BACA JUGA: Doa pada Waktu Shalat, Apakah di Antara 2 Sujud, Berdiri atau Kapan?
Jadi kalau bicara dakwah, maka yang terbersit pertama kali di kepala adalah dakwah untuk membasmi tahlilan. Jika membahas jihad, maka yang terbayang adalah bagaimana memerangi kalangan pro-tahlilan. Kalau bicara amar makruf nahyi munkar, yang terbayang adalah membubarkan tahlilan. Pendeknya, musuh utama agama Islam adalah orang Islam yang sering menggelar tahlilan, bukannya setan, pemikiran dan ajaran sesat, kafir harbi, atau Yahudi dan kroni-kroninya.
Kalangan Pro Tahlilan
Kalangan pro-tahlilan tak terima jika tahlilan itu dibilang syirik, bid’ah dan jahiliyah. Maka setiap kali mereka menggelar acara pengajian, hajatan, maulidan, tujuh bulanan, aqiqahan, syukuran, pasti diawali dengan tahlilan, lalu materi ceramahnya pun tidak kalah panas, yaitu menjawab tuduhan-tuduhan sambil balik membalas dan menyerang lawannya dengan cara menjelekkan, mencaci-maki dan juga membodoh-bodohi kalangan anti tahlilan.
Tak jauh beda dengan kalangan anti-tahlilan, kalangan pro tahlilan ini pun punya agenda besar, yaitu tujuan dakwah, jihad dan amar makruf nahi munkar mereka tidak lain adalah bagaimana menghabisi lawan, yaitu kalangan anti-tahlilan.
Jadi kita bisa lihat peta umat Islam hari ini, masing-masing saling mengacungkan pedang ke arah saudaranya, sambil mulutnya tidak berhenti mencaci, memaki, dan melaknat saudaranya sendiri.
Tahlilan Berasal Dari Tradisi Nenek Moyang?
Kalangan anti-tahlinan biasanya menyerang lawannya dengan tuduhan bahwa bentuk ritual dari nenek moyang yang sejatinya adalah ritual penyembahan kepada berhala atau roh-roh halus, untuk minta keselamatan dan sebagainya.
Kalangan yang pro-tahlilan biasanya akan menjawab bahwa memang menyembah berhala dan roh-roh itu syirik dan haram. Namun mereka bilang bahwa tahlilan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyembahan berhala atau roh-roh tertentu. Sebab dalam fiqih itu berlaku hukum perubahan hukum sesuai dengan perubahan wujud.
Misal kulit bangkai yang tadinya najis, kalau disamak sesuai dengan syariah, hukumnya akan berubah menjadi suci. Dan cara penyamakan ini semata-mata berdasarkan ketentuan dari Rasulullah SAW sendiri. Khamar yang haram diminum dan najis itu, kalau sudah berubah menjadi cuka, maka hukumnya berubah menjadi suci dan boleh dimakan.
BACA JUGA: Doa pada Waktu Shalat, Apakah di Antara 2 Sujud, Berdiri atau Kapan?
Bangkai babi yang dikubur di dalam tanah sehingga jasadnya 100% berubah jadi tanah, tidak lagi menjadi benda najis, karena yang najis itu babi, sedangkan tanah itu tidak najis. Sebab hukum tanah dalam fiqih thaharah itu suci dan mensucikan, bahkan kita gunakan untuk bersuci dengan cara tayammum.
Maka menurut yang pro-tahlilan, argumentasi haramnya tahlilan dengan mengaitkannya sebagai ritual orang kafir di masa lalu dengan sendirinya patah, karena terlalu lemah. Dan yang anti-tahlilan pun tak terima, sambil membantahnya lagi. Karena itu, selamanya debat kusir mengenai halal-haramnya tahlilan tak akan berhenti sehari semalam. []
SUMBER: RUMAHFIQIH