Oleh: Siti Farida, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Founder Sekolah Alam Tahfizh Khoiru Ummah, Cilacap
AKSI tawuran puluhan pelajar STM mewarnai hari pertama masuk sekolah di Kota Bogor, Jawa Barat. Polisi pun berhasil mengamankan 8 pelajar beserta barang bukti berupa beberapa bilah senjata tajam. Kapolsek Tanah Sareal Kompol Muhamad Suprayogi mengatakan, aksi tawuran pelajar tersebut terjadi di Jalan Soleh Iskandar, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Jawa Barat sekira Pukul 15:30 WIB, Senin 16 Juli 2018. (Okezone.news, 17/07/2018)
Miris rasanya hari pertama masuk sekolah kita disuguhi aksi tawuran pelajar. Seharusnya mereka semangat menuntut ilmu dan melepas rindu bersama teman-teman dalam suasana penuh keimanan usai ibadah puasa sebulan. Dimana di bulan ramadhan keimanan dan ruhiyah dichas penuh dan diakhiri dengan saling bermaaf-maafan dihari raya idul fitri.
Budaya tawuran ini tentu menjadi PR besar bagi sekolah, masyarakat bahkan negara. Apa sebenarnya akar masalah budaya yang turun temurun ini masih menjadi pemandangan yang memprihatinkan? padahal berbagai upaya sekolah dan pemerintah sudah dilakukan, saat ini bahkan ada sanksi bagi sekolah yang siswanya terlibat tawuran. Akankah efektif?
Masih di Kota Bogor, Tiga remaja ditangkap karena menjual senjata tajam diduga untuk tawuran antar-pelajar di Bogor, Jawa Barat. Ketiga pelaku, yang masih berstatus pelajar SMK di Kota Bogor tersebut, diketahui menjual senjata tajam lewat media sosial. (Liputan 6.com, 21/07/2018)
Seorang pelajar SMA YPHB berinisial RIF, tewas setelah dianiaya oleh sejumah orang pada Minggu (15/7) sekitar pukul 00.30 WIB di daerah Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat. Korban tewas akibat luka bacok di bagian tangan dan punggung. (kumparan. com)
Di Purwakarta, Jumat 28 April 2017 sore dihebohkan dengan aksi tawuran pelajar di rel kereta api sekitar tempat tinggal mereka. Mirisnya, pelajar yang terlibat tawuran masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah Pertama.(Kompas, 11/2/2018)
Di Semarang tawuran terjadi pada tanggal 15 April 2018 yang menewaskan seorang pelajar bernama Wahyu Purnomo.( tribunnews.)
Serta masih banyak lagi deretan aksi tawuran para pelajar dan remaja yang notabene adalah para peserta didik yang duduk dibangku sekolah agar menjadi manusia terdidik.
Penyebab tawuran menurut psikolog Universitas Pancasila, Aully Grashinta, mengatakan bahwa aksi tawuran pelajar merupakan mata rantai yang belum bisa diputus hingga saat ini dan menjadi budaya yang turun-menurun dan tidak ada arahan yang cukup kuat terhadap anak, terutama yang beranjak remaja, pada hal yang positif. Padahal anak yang beranjak dewasa sedang dalam tahap menemukan jati diri. (Tempo, 17 Juli 2018)
Sedangkan menurut Psikolog Ine, yang bertugas di Rumah Sakit Mata Jakarta Eye Center mengatakan bahwa tawuran disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, karena ikut-ikutan. Ia terpengaruh oleh lingkungan sehingga terbawa arus. Kedua, karena emosi yang labil sehingga mudah dipengaruhi. Ketiga, kurangnya pengawasan dari sekolah. Sebab, pada masa remaja ini, pelajar memiliki keinginan untuk diakui kelompoknya. (Tempo, 9 Mei 2018).
Akan tetapi beberapa faktor diatas hanyalah faktor cabang. Jika kita renungkan kembali yang menjadi pokok permasalahan masalah tawuran ini disebabkan oleh gagalnya tujuan pendidikan nasional dan interaksi sosial di masyarakat, serta proses pendidikan di dalamnya, sehingga menghasilkan alumni yang mewariskan perilaku negatif kepada adik kelasnya. Para alumnus tersebut adalah output dari *proses pendidikan nasional* yang tak jelas arahnya dan tujuan. Meski jika kita lihat tujuan pendidikan itu sudah sangat baik.
Tujuan Pendidikan Nasional dan Prosesnya
Tujuan Pendidikan menurut (Kemdiknas):
“Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Wikipedia
Sungguh sebuah tujuan yang mulia dari tujuan pendidikan nasional kita, yaitu menjadikan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia, kita yang mayoritas umat islam di Indonesia tentunya bertakwa kepada Allah SWT pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Namun sayang, kurikulum kita jauh dari tujuan tersebut, bongkar pasang kurikulum mengikuti pergantian kabinet di negara ini, dasar kurikulum dan proses pendikan tak jelas arahnya.
Demikian pula dengan proses pendidikan dan pembelajaran disekolah oleh guru sangat jauh dari tujuan pendidikan nasional. Guru mengajar hanya transfer ilmu tanpa disertai nilai-nilai keimanan kepada peserta didik, siswa hanya diarahkan untuk menerima ilmu bukan untuk diamalkan, sedangkan dalam islam ilmu itu lil amal (ilmu untuk diamalkan) pendidikan agama diajarkan satu kali dalam seminggu.
Disamping itu adanya dikotomi pendidikan sekolah yang berada dibawah Depag dan dibawah diknas, menjadikan para peserta didik mengalami diskriminasi proses pendidikan, faktanya para peserta didik mayoritas umat islam. Mereka semua berhak mendapatkan pendidikan agama sejak dini hlebihr perguruan tinggi untuk mencapai tujuan pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang. Namun sayang konten mata pelajaran agama dibawah diknas lebih sedikit daripada yang berada dibawah Depag.
Lebih ironi dan miris, kegiatan yang berbau keagamaan seringkali dicurigai sebagai sarang teroris, seperti Rohis, LDK, dll. Sedangkan berbagai kegiatan konser musik, yang mempertontonkan aurat serta gerak tak layak didukung dan difasilitasi sekolah. Bagaimana bisa anak-anak kita menjadi manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia? Yang ada kita menyaksikan budaya tawuran yang turun temurun, pacaran dan seks bebas semakin bablas, pemakai narkoba dan miras makin miris, masih banyak lagi potret para pelajar yang jauh dari tujuan pendidikan nasional. Miris!
Kita pun menyaksikan bagaimana para wakil rakyat dan aparat pemerintah, sudahkah menunjukkan hal yang diharapkan sesuai tujuan pendidikan nasional? Karena sejatinya mereka semua adalah produk-produk pendidikan nasional kita.
Proses Pendidikan
Allah SWT berfirman “ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat “ Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. (TQS. Albaqoroh: 30)
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah”. (TQS. Azzariat :56)
Dari dua ayat diatas, proses pendidikan anak-anak kita hendaknya kita arahkan agar mereka menjadi khalifah fir ard, menjadi pemimpin di bumi, menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa serta tinduk dan patuh beribadah hanya kepada Allah SWT. (lihat juga surat al Furqon ayat 74).
Kurikulum dirancang untuk mencapai output yang memiliki kepribadian/karakter Islam para peserta didik, yaitu memiliki pola pikir dan pola sikap Islamiyah. Pola pikir (Aqliyah) Islamiyah yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dapat berfikir benar memahami apa yang diperintahkan Allah SWT dan apa yang dilarang terkait aktivitas sehari-hari mampu menyelesaikan problem kehidupannya sesuai hukum syara’. Sedangkan pola sikap (Nafsiyah) Islamiyah adalah peserta didik siap melaksanakan yang wajib dan siap meninggalkan yang haram.
Untuk mencapai output tersebut, maka pada proses pendidikan semua kegiatan pembelajaran berbasis akidah Islam. Guru senantiasa menyampaikan materi pelajaran yang dikaitkan dengan akidah islam, maka mata pelajaran sains/IPA berbasis akidah Islam, sebagaimana mapel bahasa pun berbasis akidah Islam, begitupula dalam pelajaran matematika tidak hanya sekedar berbicara bagaimana konsep bilangan, aljabar, geometri, dsb. Tapi semuanya senantiasa bersentuhan dengan konsep keimanan, harapannya akan tertanam kesholihan jiwa dan kecerdasan akal. Sehingga menghasilkan anak-anak yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Pada proses ini sekolah dan orang tua wajib bersinergi demi mencapai output yang diharapkan. Tanpa sinergi akan terasa sangat berat memproses pendidikan anak-anak, terlebih sistem negara ini tidak berdasarkan akidah dan syariat Islam, dimana interaksi sosial masyarakat pun jauh dari nilai-nilai Islam.
Menurut Ustadz Iwan Januar dalam websitenya mengatakan bahwa ini semua karena sekulerisme menjadi pijakan bangsa ini termasuk dalam dunia pendidikan. Pelajaran agama minim dan sebatas teori, bukan untuk membentuk karakter yang berakhlak luhur. Ironinya, kini pemerintah malah terus menggencarkan program deradikalisasi di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus.
Ini ibarat pepatah, buruk muka cermin dibelah. Gagal membentuk karakter remaja, malah justru menyalahkan agama (Islam). Padahal sistem pendidikan dan nilai sosial yang berlaku adalah sekulerisme-liberalisme. Merusak remaja. Inilah cara berpikir absurd.
Jika tujuan pendidikan nasional itu bertakwa kepada Allah, maka seharusnya proses pendidikan tidak kontradiktif dengan tujuan, proses tersebut harus berpadu dan beintegrasi dengan nilai-nilai keimanan dan aturan Allah. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.