Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR
Penulis adalah warga asli Lombok Timur yang saat ini menjalani studi pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam di Universitas Indonesia
PAGI itu adalah hari yang begitu menenangkan ketika warga sedang menyambut aktivitas pagi dengan berdagang, bercocok tanam di sawah yang hijau, bercengkerama bersama keluarga, juga menikmati hari libur setelah aktivitas padat selama sepekan. Gunung Rinjani pun dengan gagahnya terpancang di tengah desa Sembalun disertai semilir angin sejuk seperti hari-hari biasa di sana.
Adalah hari Minggu tanggal 29 Juli 2018, pagi yang cukup mencekam bagi warga desa Sembalun khususnya dan Lombok secara umumnya. Gempa bumi berkekuatan 6.4 SR telah mengguncang Pulau Seribu Masjid yang guncangannya bahkan terasa hingga ke ujung timur Provinsi Nusa Tenggara Barat, di Bima sana. Gempa ini meluluhlantakkan Sembalun sebagai epicentrum gempa bumi. Korban berjatuhan. Rumah-rumah roboh dan rusak berat.
Belum pernah pulau Lombok diguncang dengan gempa sedahsyat hingga melumpuhkan seperti ini. Tanggap darurat dari berbagai instansi mulai digalakkan. Bantuan-bantuan kemanusian juga didistribusikan pada titik-titik pengungsian yang tersebar di banyak daerah terdampak gempa.
Namun apalah daya manusia. Satu minggu sejak gempa pertama melanda, Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak mengguncang Lombok kembali dengan gempa yang lebih besar dan lebih menghancurkan dibandingkan yang pertama. Sekitar pukul 19.30 WITA, gempa 7.0 SR tercatat dalam seismograf dengan titik pusat gempa di darat yang menyebabkan puluhan nyawa melayang dan berhasil diidentifikasi dalam sekejap di Kabupaten Lombok Utara.
BACA JUGA: Sedih dan Haru, Ini 7 Kisah yang Terjadi saat Gempa di Lombok
Perasaan duka, sedih dan simpati disampaikan banyak elemen bangsa kepada warga Lombok, termasuk Bali dan daerah di NTB lainnya. Namun yang tak banyak dijadikan sorotan adalah bahwa Islam telah memandu manusia bagaimana menyikapi gempa bumi ataupun bencana lainnya. Tentu saja bukan mengenai Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan ataupun siaga bencana dan semisalnya. Namun Islam mengajarkan kepada siapapun yang mengimaninya agar ridha terhadap ketetatapan yang diberikan oleh Allah selaku Pencipta dan Pengatur seluruh alam semesta ini.
Syaikh an Nabhani menjelaskan dalam kitab yang ditulisnya, Nidzhamul Islam pada bab Qadha’ dan Qadar bahwa setiap mukmin harus meyakini qadha Allah yang baik ataupun buruknya berasal dari Allah. Gempa bumi tentu terlihat sebagai hal yang buruk di mata manusia, tetapi Islam memerintahkan pemeluknya untuk menerima semuanya sebagai keputusan Allah. Gempa bumi adalah hal yang termasuk dalam ranah musayyar atau yang menguasai manusia, sehingga takkan bisa kuasa manusia manapun mengontrolnya.
Memertanyakan “mengapa harus Lombok yang dilanda gempa, bukan yang lain?” sama saja dengan memertanyakan “mengapa aku dilahirkan di Indonesia, bukan di tempat lain?” Keduanya sama-sama tak memberikan manusia pilihan, ia diminta untuk menerima keputusan Allah yang ditetapkan atasnya.
Namun Islam juga mengajarkan bahwa manusia memiliki ranah mukhayyar atau ranah yang dikuasai oleh manusia. Ranah ini memberikan manusia peluang untuk memilih apa yang akan dilakukan ataupun yang tidak dilakukannya. Ranah mukhayyar inipun kelak akan menjadi penentu “surga-neraka” manusia. Apabila ia memilih untuk melakukan yang diperintahkan dan dicintai oleh Allah, maka surga balasannya dan sebaliknya. Dilanda gempa adalah ranah musayyar, namun jika setelah dilanda bencana ini manusia kemudian berpaling dan ingkar dari Allah, maka itu merupakan ranah mukhayyar.
Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Amirul Mukminin Umar ibn Khaththab radhiyallahu ‘anhu ketika Madinah dilanda gempa bumi dahulu, beliau tak serta merta menganggap bahwa gempa itu hanyalah fenomena alam belaka. Beliau justru menanyakan maksiat apa yang telah dilakukan oleh penduduk Madinah kala itu sehingga Allah menurunkan gempa tersebut sebagai teguranNya. Khalifah Umar bahkan mengancam akan meninggalkan penduduk Madinah jika terjadi bencana lagi.
Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, “Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, ‘Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian’.”
Begitulah Islam memandang bencana alam, termasuk gempa bumi. Seorang mukmin meyakini bahwa segala apapun yang terjadi di alam semesta ini merupakan iradah dan masyiatullah. Termasuk gempa bumi yang melanda Lombok sebanyak dua kali dalam waktu 7 hari saja.
BACA JUGA: Mesut Ozil Sampaikan Belasungkawa untuk korban Gempa Lombok
Muhasabah, merenung, dan evaluasi apa yang sudah dilakukan oleh penduduk Lombok khususnya merupakan bentuk keridhaan terhadap kekuasaan Allah ini, bukan justru menganggap Allah zalim, jahat, dan narasi buruk lainnya. Muhasabah apakah karena minuman keras masih merajalela di pulau ini? Apakah karena perzinahan sudah dianggap biasa oleh penduduk ini? Apakah karena berbagai praktik ribawi yang masih dijalankan di Pulau Seribu Masjid ini? Apakah karena pembunuhan, perampokan, dan berbagai tindak kriminal masih menghantui daerah ini? Apakah karena semua itu yang menyebabkan Allah mengguncang Lombok dengan gempa bumi?
Memang tak ada yang mengetahui rahasia apa yang ingin ditunjukkan oleh Allah melalui bencana ini. Bisa saja maksiat pribadi, masyarakat, hingga pemimpin-pemimpin negeri ini terakumulasi di langit dan menjadi sebab Allah menegur warga daerah yang dikenal tinggi perasaan Islamnya ini.
Menyatakan gempa bumi dan bencana lainnya adalah bentuk teguran dari Allah bukanlah fenomena “cocoklogi” yang dikonotasikan sebagai fanatisme agama, tidak berperikemanusiaan dan lainnya. Pernyataan seperti ini malah merupakan ajakan dan seruan bagi siapapun yang meyakini Allah sebagai tuhannya dan Islam sebagai jalan hidupnya untuk kembali kepada Allah, menjalankan seluruh perintah dan menjauhi seluruh laranganNya, serta senantiasa menjadikan aturan Allah sebagai standar perbuatan bagi dirinya sendiri, masyarakat, hingga berbangsa dan bernegara. Wallahu a’lam bishshawwab.[]
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri