KEMARIN pagi, badan lemas dan demam karena kurang sehat, tapi karena janji sama si bungsu bikin nasi bakar buat berbuka dengan teman-teman Jumat mengaji di lingkungan RT rumah, jadi pergi ke pasar juga ditemani sahabat pengajianku.
Selesai belanja sahabat saya memanggil kuli panggul. Belanjaan lalu digotong anak seusia Altaf (anak saya) dengan perawakan jauh lebih kecil. Altaf baru berusia 12 tahun bulan lalu dengan tinggi badan 155 dan berat badan 60kg.
Ia terlihat begitu besar dibanding anak yang memanggul belanjaan itu. Tapi wajah anak kuli panggul pasar ini terlihat lebih tua daripada usianya.
“Aa gak sekolah?” tanya saya kepadanya.
“Baru selesai ujian SD, Bu,” jawabnya.
BACA JUGA: Terus Gimana Hari Tua Kita kalau Anak-anak Tidak Peduli sama Ortunya?
“Oh jadi udah libur ya? Sama dong dengan bungsu ibu,” kata saya lagi padanya.
“Nerusin ke SMP-kan?” tanya saya ketika tiba di pintu mobil.
Matanya berkaca, kemudian menjawab lirih, “Gak tau, Bu…”
“Kok gak tau? Kenapa?” tanya saya sambil membereskan belanjaan ke dalam kendaraan.
“Kalau sekolah yang deket katanya musti ngasih uang biar bisa masuk, kalau sekolah yang jauh gak punya ongkos buat sekolah. Kalau jalan kaki jauh lama, pulangnya gak bisa nguli. Ntar gak bisa bantuin ibu saya cari uang buat makan?” jawabnya.
“Tau dari mana musti ngasih uang buat bisa masuk sekolah? Kan sekolah sekarang gratis?” kata saya lagi.
“Banyak yang ngomong Bu, ibu-ibu yang belanja, pedagang-pedagang pasar cerita, masukin anaknya ke SMP, ke SMA harus pake uang, kalau hasil tes sekarang gak murni lagi. Jadi pinter juga percuma, yang penting ngasih uang, anaknya bisa masuk sekolah,” jawabnya.
“Jangan patah semangat, coba aja ikut tes dulu siapa tau rejeki, rencana Allah kan mana tau,” saya memberi semangat padanya.
Dia hanya tersenyum getir. “Udah belum bu? Sayanya buru -buru biar bisa bawain yang lain mumpung masih pagi, ntar kalau siang takut lemas…” ujarnya/
Saya bergegas memberi sejumlah uang dan masih terpana. Sambil berkendara saya dan sahabat saya membahasnya, “Cu.. bener juga ya, sekolah itu digratiskan pun tetap gak jamin anak orang susah bisa sekolah, ongkos, buku, seragam juga jadi pertimbangan,” kata saya.
“Emang,” jawab sahabat saya.
Kadang kalau lihat yang begitu masih bersyukur kita ya, pusing-pusing mikirin biaya pun anak masih bisa sekolah. Fenomena tahu sama tahu, sesuatu yang sulit dibuktikan tapi banyak dibicarakan.
BACA JUGA: Kucing dan Sedekah
Kalau anak tikus (titipan khusus) dengan sejumlah uang, dengan memo, ‘pertolongan orang dalam’, bisa memuluskan anak masuk sekolah yang diinginkan demi prestise, demi kepuasan batin, pembenaran alasan agar sekolah tidak jauh dan anak bisa diawasi.
Bahkan ada ibu seorang teman yang sakit karena merasa sedih tidak bisa membayar sejumlah uang untuk memuluskan putri bungsunya masuk ke sekolah yang diinginkan putrinya, setelah sebelum pengumuman ditelepon seseorang yang mengaku bisa membantu dengan imbalan uang dan qodarullah ibu itu tersebut meninggal dunia beberapa hari kemudian.
Memang sudah kontrak umur beliau, tapi cerita ini cukup memperihatinkan.
Anak-anak yang berjuang dengan segala upaya dan doa, yang terpinggirkan dengan rupiah, nasib hidup kalian tak akan ditentukan megahnya sekolah, tapi oleh value berkah dan ridhanya Allah. Tetaplah istiqomah dan gigih berjuang, banyak berdoa, karena meniti di jalan Allah memang banyak ujiannya. Tapi siapa yang tangguh menapaki diennya, akan selamat selamanya. InsyaAllah. []