ABD AL-MALIK, atau yang sebelum masuk Islam bernama Regis Fayette-Mikano, lahir di Paris pada 14 Maret 1975. Pada 1977, Malik kecil yang berdarah Kongo dibawa orang tuanya kembali ke negara asalnya dan tinggal di Brazzaville (ibukota sekaligus kota terbesar di Republik Kongo). Malik menghabiskan masa kecilnya di sana, sebelum akhirnya ia dan keluarganya kembali ke Prancis dan menetap di distrik ghetto bernama Neuhof (selatan Kota Strasbourg) pada 1981.
Saat Malik memasuki usia remaja, entah karena apa ayahnya pergi meninggalkan rumah. Sejak itu, ibunya harus berjuang seorang diri membesarkan dan mendidik Malik. Dan sejak itu pula, Malik mulai tumbuh menjadi ‘penjahat kecil’.
Di lingkungan barunya yang keras, tanpa sosok ayah, Malik belajar memenuhi keterbatasan dan kekurangan yang didapatinya di rumah. Dari kejahatan-kejahatan kecil yang dilakukannya, ia terus tumbuh menjadi penjahat yang berhasil membangun dominasi bersama beberapa temannya. Ia menjambret dan mencuri mobil, demi menghasilkan uang yang tidak bisa diperolehnya di rumah. Dalam kondisi itu, Malik menjalani tiga peran kehidupan sekaligus. Ia adalah seorang seorang anak yang berjuang mempertahankan hidup keluarganya, siswa yang berprestasi di sekolah, serta penjahat jalanan yang lihai.
Malik pun memilih musik rap untuk menyalurkan frustasinya, bercerita dan menyampaikan kritik sosial atas semua yang dialaminya. Terinspirasi rap Amerikapada tahun 1980-an, Malik bergabung dengan saudara dan sekelompok temannya dan menciptakan New African Poets (NAP).
Di tengah kekritisannya, Malik terpikat pada gerakan Black Power dan mengidolakan Malcolm X sebagai seorang pahlawan Muslim kulit hitam yang berani menentang ketidakadilan. Baginya dan sejumlah pemuda imigran di Prancis kala itu, Islam menawarkan sebuah identitas yang menantang. Dari sana ia tertarik untuk mengenal Islam.
Pengetahuan tentang Islam diperoleh Malik dari para da’i Islam yang berceramah di jalan-jalan. Pada usianya yang ke-16, Malik memutuskan untuk memeluk Islam dan mengganti namanya dari Regis Faayette-Mikano menjadi Abd al Malik.
Selama beberapa tahun setelahnya, bersama para Muslim tersebut, ia berkeliling Prancis untuk menyeru pria-pria muda agar pergi ke masjid, serta berhenti meminum alkohol dan mengkonsumsi narkoba.
Lama terlibat dalam ajaran di Prancis, Malik melihat ajaran yang populer di ghetto-ghetto Prancis itu bukan sesuatu yang secara eksplisit keras. Namun, katanya dalam Sufi Rapper, ajaran tersebut secara fanatik mendorong para imigran muda untuk mencerca segala sesuatu yang sekular, modern, dan kebarat-baratan. Dan itu justru memperdalam rasa keterasingan mereka.
Di situlah ia kembali menemukan gejolak dalam batinnya. Sebagai remaja, Malik merasakan ketulusan dan semangatnya pada Islam sama besarnya dengan hasratnya pada rap, sebuah seni yang harus ia cerca dan jauhi, karena rap adalah musik modern, dan ia kebarat-baratan.
Malik terjebak dalam paradoks itu hingga beberapa tahun. Dan itu sangat menyakitkan baginya. Perasaan sakit itu semakin menjadi karena ia membiayai musiknya dengan melakukan kejahatan dan menjadi pengedar narkoba. Dan baginya itu merupakan perbuatan-perbuatan yang sangat tidak agamis.
Hingga pada akhirnya, suatu hari Malik pergi ke seorang pemimpin penjahat lokal dan meminta pinjaman. Setelah itu, sambil memegang sebuah kantong sampah penuh uang, Malik terduduk dan menangis seorang diri di apartemennya.
Kekacauan batin itu mendorong Malik untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang keimanannya. Dalam pencarian itu, ia memperoleh jawaban dari tasawuf, cabang sufisme Islam yang kontemplatif.
Ia menemui seorang guru spiritual dari Afrika Utara yang mengajarkannya bahwa inti agama adalah cinta dan kesadaran akan sifat rohani setiap manusia. Kepada Malik guru tersebut mengatakan bahwa Islam adalah agama cinta. Islam itu berdamai dengan dirinya dan orang lain.
Dari sana, Malik sampai pada satu kesimpulan bahwa memposisikan Islam sebagai agama kelompok minoritas sama dengan menjadi minoritas dalam Islam itu sendiri. Dan itu bukanlah Islam yang sesungguhnya.
Pergeseran pola pikir itu memperluas pandangan Malik tentang musik rap dan perannya melalui seni tersebut. Ia mulai menulis lagu untuk album solonya, dengan mengusung pesan yang menyerukan pemahaman antar ras. Salah satu lagunya, “12 September 2001,” adalah permohonan untuk memisahkan politik dan agama. Sebuah lagu lainnya, “God Bless France,” menggambarkan evolusi pribadinya dari kebencian pada patriotisme.
Dalam otobiografinya, Malik menuliskan bahwa dalam musiknya, ia hanya berupaya menerjemahkan bahasa hati. Ia pun memutuskan untuk meninggalkan rap keras dan mulai berkolaborasi dengan berbagai musisi untuk mengembangkan sebuah suara baru yang mencampurkan musik jaz, nyanyian, dan puisi kecaman yang estetis.
Ketika para rapper lain terus menciptakan ‘musik amarah’ dan beberapa diantaranya ada yang sampai dituduh menghasut kekerasan, Malik tetap dengan pilihannya. Alih-alih mengkritik sistem Prancis, Malik mendorong negaranya untuk hidup sesuai dengan cita-cita demokrasi. Melalui musiknya yang telah meraih berbagai penghargaan, ia menunjukkan bahwa Muslim tak harus menjauhi hal-hal modern. Terlebih jika kita bisa berbuat sesuatu dengan itu. []
Sumber: kisahmuallaf